Pertengkaran

84 1 0
                                    


Memang Zahra berusaha menjadi istri yang baik bagi Zaki. Namun, Zahra juga seorang wanita yang ingin disayang. Wanita yang bisa marah atau mengamuk saat orang yang ia cintai mengecewakan.

Malam ketika usia pernikahan mereka hampir satu bulan, Zahra berbaring di atas tempat tidur, menghadap dinding. Pukul 01.00, Zaki belum pulang. Rasa kesepian membuat Zahra merasa sedih dan ingin berontak, belum lagi lelah seharian bekerja membuat emosinya semakin tak terkendali.

Zahra meraih hp nya. Mengirim pesan pada Zaki. "Ki, kamu kemana aja jam segini belum pulang?. Sejak pagi kita pergi kerja, sorenya pulang kerja kamu langsung pergi ke rumah ibumu dan sampe sekarang belum pulang. Setiap hari begitu, kamu keluar rumah pagi, pulang jam 2 pagi. Gimana rumah tangga ini mau dibangun ki?, aku merasa sendiri. Apa kamu tau listrik belum dibayar, air mati seharian, mesinnya rusak, kipas angin juga rusak. Bukan aku menuntut kamu membayar, tapi paling tidak aku gak sendirian menghadapi semua ini."

Pesan itu dibaca Zaki namun tak pernah dibalas. Sesaat kemudian Zahra termenung. "Mungkinkah Zaki marah membaca pesanku? Apa dia salah faham?. Aku tak ingin menuntut uang, aku hanya butuh teman." Zahra menangis, merasa bersalah.

Dugaan Zahra benar, Zaki salah faham dan tersinggung. Sejak saat itu Zaki semakin jarang bicara pada Zahra.

Beberapa hari setelah kejadian itu Ramadhan tiba, perasaan Zahra makin sakit karena tak pernah berbuka puasa bersama Zaki. Zaki selalu berbuka puasa di kantor atau di rumah ibunya.

Setiap dini hari Zahra memasak untuk makan sahur mereka, tak pernah ia mengeluh. Ia hanya ingin Zaki makan makanan yang hangat bukan yang sudah dimasak sebelum tidur. Mengapa? Karena hanya saat sahur lah mereka makan bersama.

Sore itu, sepuluh Ramadhan berlalu. Hp Zahra berdering, pesan dari adik sepupu Zaki.

"Mbak, ibu ngajak buka bersama di rumahnya. Dia rindu, mbak belum pernah buka puasa di sini bersama kami, kak Zaki di sini setiap hari tanpa mbak."

"Oiya dek, nanti mbak kesana ya."

Zahra merasa haru, ingin juga ia berbuka bersama keluarga Zaki. "Mengapa Zaki tak pernah mengajakku?" Zahra mencoba mengirim pesan pada Zaki.

"Ki, Susi ngirim pesan ke aku, katanya ibumu ngajak buka bersama. Aku kesana?". Sejak hari pernikahan mereka tak sekalipun Zahra keluar dari rumah tanpa bertanya atau meminta izin pada Zaki.

"Terserah, suka-suka kamu, aku gak perduli."

"Lho kok gitu? Aku ada salah Ki? Aku minta maaf ya?"

"Aku yang salah mau menikah denganmu." Air mata Zahra berjatuhan dan tak mau berhenti membaca pesan itu.

"Sayang, jangan bertengkar ya. Aku kesana nih."

Zahra memacu motornya dengan kecepatan penuh menuju rumah ibu Zaki. Di pikirannya hanya ada satu hal, ingin meminta maaf dan membujuk Zaki. Air matanya masih terus menetes, ia takut menjadi istri yang dibenci.

Sesampainya di rumah ibu Zaki. Zahra bersalaman dengan ibu dan keluarga Zaki. Mataya mencari dimana Zaki, di depan TV. Ia mendekat, duduk di sisi Zaki.

"Ki, maafin aku ya."

"Aku kan udah bilang, aku ini orang susah, dari kecil hidup susah. Kamu pikir aku gak tau kalo ini itu rusak?" Suara Zaki yang keras membuat Zahra tertunduk, air matanya kembali menetes, ia tak pernah dikasari siapapun.

"Bukan itu yang aku tuntut, aku hanya ingin kamu gak meninggalkan aku sendiri setiap hari."

"Apa pesanmu itu tak menuntut?"

"Kamu salah faham ki, bukan itu maksudku."

"Aku orang miskin, aku udah bilang, katanya kamu mau terima aku apa adanya, katanya kamu mengerti cara menjadi istri yang baik...." Zaki meluapkan semua kekesalannya.

"Udah...udah...aku minta maaf Ki." Zaki bangkit, masuk ke kamar. Zahra menyusul. Di kamar, Zahra memeluk Zaki sambil menangis, terisak meminta maaf. Zaki terdiam.

Sepatu Pengantin ZahraWhere stories live. Discover now