Lebaran

80 1 0
                                    

Hujan rintik di luar membasahi bumi, tetesan air memeluk haru dedaunan hijau, hingga matahari enggan bersinar. Alam bersedih ditinggal kekasih hati, Sang Ramadhan Karim, tak ada janji pasti akan bercumbu lagi dengannya tahun depan.

Gema takbir di hari lebaran menuai getar di hati Zahra, mukena pemberian Zaki sudah ia pakai untuk pergi solat di hari lebaran. Ini lebaran pertama Zahra jauh dari orang tuanya. Ada kesedihan yang membuat tetesan air di matanya jatuh. Ia membayangkan ayah dan ibunya di kampung sedang merindukannya. "Mungkin beginilah jika wanita sudah dewasa dan menikah, harus ikut suami dan jauh dari orang tua, itu tanda kedewasaan." Pikirnya sambil menyapu lembut pipinya dan berusaha mengalirkan syukur di hatinya bahwa ia sudah dewasa dan sudah Allah beri kesempatan menjadi seorang istri.

Zaki masih tertidur lelap, lelah bermain hingga pukul empat pagi. Baju koko putih milik Zaki sudah digosok rapi, Zahra letakkan di atas gantungan, di depan lemari. Sajadah merah maroon, sarung gradasi maroon-orange, dan pakaian dalam Zaki ia letakkan di atas tempat tidur, dekat dengan baju yang digantung, agar setelah mandi nanti, Zaki tidak kesulitan mencari pakaiannya.

"Sayang bangun", Zahra berbisik lembut di telinga Zaki. Zaki menyapu telinganya.

"Ini lebaran, ayok kita solat, nanti telat sayang." Zaki kini tak bergeming. Zahra keluar kamar, menghangatkan air untuk Zaki, kemudian kembali lagi ke kamar.

"Ki, bangun donk, udah mau mulai khutbah dan kamu belum mandi." Ahirnya Zaki bangun. Zahra mengulurkan air minum hangat untuk Zaki. Zaki mengambil air dari tangan Zahra, minum, dan kemudian beranjak mandi.

Usai Zaki mandi, Zahra dan Zaki berjalan beriringan menuju masjid. Mereka jamaah terahir, halaman masjid sudah dipenuhi banyak orang. Sesaat setelah mereka sampai, khatib naik ke atas mimbar dan memulai khutbahnya.

Tema yang diangkat sang khatib kali ini adalah mensyukuri nikmat, untuk memperbaiki pribadi menjadi hamba yang lebih baik. Zahra memahami betul bahwa salah satu makna bersyukur adalah merasa bahagia dengan apa yang diberikan oleh Sang Maha Pencipta tanpa mengeluh dan berandai-andai mendapatkan yang lebih baik. Iya, Zahra bersyukur Zaki ada di dalam hidupnya, ia berharap kelak Zaki bisa menjadi imam yang baik dalam rumah tangganya.

Layaknya seorang istri, Zahra mencium tangan Zaki untuk memohon pemaafan atas semua kesalahan yang mungkin pernah ia lakukan. Setelah mencium tangan Zaki dan meminta maaf, Zahra memeluk Zaki untuk berkasih sayang. Namun sama dengan reaksi Zaki biasanya saat Zahra memeluknya, Zaki diam tanpa membalas.

"Mungkin Zaki kaku karena dia tipe lelaki pemalu, masih butuh adaptasi. Atau mungkin dia tipe lelaki yang tak bisa menunjukkan kasih sayangnya. Aku tau Ki, kamu itu sayang sekali ke aku, cuman kamu gak bisa menunjukkan aja!" Suara hati Zahra selalu membela Zaki, ia percaya Zaki sebenarnya mencintainya.

"Ki, kita pulang ke kampung kapan?"

"Kamu ajalah, ngapain juga aku ikut? Aku lagi gak ada uang nih, kamu kan tau kalo lebarang harus bagi-bagi THR ke anak-anak di sana. Yang di sini ajalah yang dibagi." Zahra terdiam, berusaha berprasangka baik pada Zaki.

Hp Zahra berdering lagi, ini kali ke tiga ibu, kakak, dan ayah Zahra berbicara lewat telepon sambil bercerita ini itu, dan berharap kedatangannya.

"Kok lama sih kamu kesininya Ra, aku kan repot masak sendiri, ibu malah gak mau masak apa-apa kalo kamu belum datang, katanya masakan kamu yang enak."

"Iya kak, kalian sabar ya, ntar kami juga bakal datang kok."

"Ra, Zaki mana? Ayah punya kado lebaran loh buat menantu ayah."

"Iya ayah, makasih ya, Zaki ada, ntar kita kesana kok."

"Nginepnya disini sampe seminggu kan nak?"

"Tenang aja ibu, nanti rumah ini kami pindahkan kesana, hihi."

Zahra merasa dirinya tidak boleh egois, di sini dia tinggal, di keluarga Zaki, jadi bagaimanapun dia harus sungkeman dulu dengan seluruh keluarga besar Zaki. Hari ini Zahra ikut bercengkrama, saling berbagi kebahagiaan berlebaran dengan keluarga besar Zaki. Zahra bahagia disini, ia merasa diterima. Hingga tiba masanya nanti saat ia faham bahwa penerimaannya bagi sebagian orang hanya topeng yang cantik di depan, namun jelek di belakangnya.

Tanpa terasa sudah tiga hari lebaran berjalan, Zahra duduk melamun di depan TV. Badannya terasa letih setelah seharian memasak dan melayani tamu keluarga Zaki yang berlebaran ke rumah mereka. Tiba-tiba rasa rindu pada ayah dan ibunya terasa menusuk dan menyakitkan. Zaki tak kelihatan sejak sore tadi. Zahra mulai frustasi, lama kelamaan kepalanya terasa berdenyut, asam lambungnya terasa perih dan menyiksa. Zahra hampir tumbang saat Zaki pulang.

"Kamu kenapa ra?"

"Ki, punya obat gak? Kepala ku pusing, lambungku sakit."

"Yaudah yuk kita tanya ibu, mungkin ada." Zaki menarik lengan Zahra, berjalan ke depan. Ibu Zaki di halaman rumah, sedang bercakap-cakap dengan tante Nia.

"Buk, ada obat sakit kepala gak?"

"Kenapa Ki, Zahra sakit?, sana bawa berobat ke buk bidan sebelah rumah aja, jangan minum obat sembarangan."
"Gak apa bu, Zahra sakit biasa aja kok."

"Yang ini kan obatnya buk?" Zaki mengambil obat dan menggandeng tangan Zahra ke ruangan tamu, memberikan obat dan duduk sebentar.

"Eh, udah baik ya Zaki ke Zahra. Ku lihat beberapa hari ini mereka lebih akur. Mudah-mudahan akur terus ya." Zahra sempat mendengar Tante Nia berkomentar ke ibu Zaki, sepertinya ibu Zaki menanggapi, namun hanya terdengar samar di telinga Zahra. Apalagi kepalanya sakit, dia tidak bisa berkonsentrasi. Ia hanya berprasangka baik bahwa kedua wanita paruh baya itu membicarakan hal baik tentangnya.

"Ki, kamu mau kemana lagi malam ini?" Zahra bertanya karena Zaki sudah bersiap, memasukkan hp ke saku celana.

"Biasa lah, maen di luar."

"Ki, aku rindu kedua orang tuaku. Temani aku pulang kampung yuk. Please"

"Ra, kan aku udah jelasin ke kamu kondisi nya, aku gak ada uang. Gini aja deh, kalo mau pulang ya kamu pulang aja sendiri."

"Ki, nanti orang tuaku kecewa karena kamu gak ikut. Mereka juga pengen ketemu kamu."

"Jadi, aku harus gimana Zahra, aku suntuk dituntut terus."

Zahra tertunduk, matanya mulai mengeluarkan bola-bola bening dan jatuh di pangkuannya.

"Ya sudah, aku gak suka liat kamu nangis kek gini, ke kanak-kanakan tau. Aku bakal usahain ikut, tapi aku bakal pulang duluan nanti. Kamu itu udah tau susah begini, banyak mau lagi. Nanti, kalo kemauan kamu udah dituruti, jangan harapkan aku untuk bisa berlama-lama disana nemeni kamu."

Zahra masuk ke kamar dengan air mata yang terus mengalir, ia yakin Zaki tak akan pulang malam ini. Malam ini ia lalui seperti biasanya, kesepian, sendirian, menangis menghadap dinding hingga tak tau kapan mulai terlelap.

Sepatu Pengantin ZahraHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin