27 - Saatnya Pembuktian

41.4K 3K 45
                                    

Semua menunggu hari ini tiba, selain tidak mendapatkan pelajaran seperti hari biasa, semua murid diwajibkan untuk mendukung kontingen Trijaya di setiap perlombaan yang berlangsung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semua menunggu hari ini tiba, selain tidak mendapatkan pelajaran seperti hari biasa, semua murid diwajibkan untuk mendukung kontingen Trijaya di setiap perlombaan yang berlangsung. Sorak sorai dari barisan antar kubu yang saling bersahutan semakin menambah gemuruh setiap sudut sekolah.

Tribun aula utama penuh dengan penonton, tribun kolam renang pun sama walaupun pertandingan akan berlangsung satu jam lagi. Apalagi tepi lapangan, sudah padat sejak pagi tadi lantaran menjadi tempat terbuka bagi para penonton untuk cuci mata kala berpapasan dengan beberapa atlet.

Baru saja datang, berhenti ketika menemukan tempat parkiran kosong setelah delapan menit dibuat pusing lantaran tak bisa berkutik saat area parkiran penuh dengan kendaraan.

"Lo tanding jam berapa?" Agatha membuka obrolan sembari melepas setbelt-nya, sesekali melirik ke arah pemuda yang tengah sibuk mengambil ransel di jok belakang.

"Belum tahu."

"Belum tahu atau nggak mau ngasih tahu?"

Berhenti beberapa saat ketika mendengar pertanyaan tersebut, kembali memakai jaketnya setelah mengangkat bahu, "nggak tahu." cukup sabar, dan Agatha berusaha mati-matian untuk tidak memberikan cubitan pada lengan cowok itu.

Padahal niatnya baik, ingin memberi semangat untuk Dirga meskipun sang empu terlihat ogah-ogahan dan juga kerap menghindar darinya.

"Jaket lo mana?" Sadar ada yang kurang, Dirga segera melayangkan protes. Dirinya belum melihat Agatha memakai jaket yang sama seperti dirinya, lebih tepatnya mirip kontingen Trijaya yang lain lantaran dibuat khusus untuk para atlet guna dikenali oleh guru beserta murid lain.

Baru ingat, Agatha segera membuka ranselnya sebelum mengambil jaket tersebut. Terdiam beberapa detik ... tatapannya terkunci oleh mata elang yang menatapnya penuh selidik.

"Kayanya gue nanti nggak bisa kasih semangat ke lo waktu tanding, deh."

Dirga mengangkat satu alisnya, "kenapa?" ucapnya dalam hati.

"Tapi gue kasih semangat sekarang aja, ya?"

Membelak kaget, mencoba untuk menahan diri agar tidak mendorong gadis yang saat ini telah duduk di pangkuannya sembari mengalungkan tangan di lehernya, Dirga berusaha mati-matian untuk tidak terbuai bujuk rayu yang mengharuskan sorot keduanya saling bertemu.

Lemah. Tidak tahu apa alasannya, namun Dirga tak mampu menolak setiap sentuhan jemari lentik Agatha. Bergerak menyusuri tengkuk, rahang, lalu mendongak untuk memperdalam lumatan kecil yang gadis itu tawarkan.

Mulai ikut hasutan setan yang berada di sekitarnya, semakin tak menyisakan jarak di antara mereka berdua, saling membutuhkan bala pertolongan atas oksigen yang susah diraih, hingga sama-sama menyudahi aksinya.

Kembali mengunci tatapan satu sama lain, terengah-engah walau hanya berlangsung beberapa saat, namun hasrat mengikis jarak untuk yang kedua kalinya masih ada. Bedanya, kali ini Dirga yang memulai, semakin mengeratkan pelukannya pada pinggang gadis itu, lalu kembali dengan decakan-decakan halus yang tidak akan mungkin terdengar dari luar.

"Stop it, dude!" Segera mendorong Dirga yang mulai mencium ceruk lehernya, menjauhkan tubuhnya dari cowok itu lantaran tak ingin meninggalkan bekas sebelum pertandingan berlangsung. 

"Nggak usah minta jantung lo!" 

Gadis aneh, padahal dirinya yang memulai, tapi menyalahkan orang lain yang menjadi korban atas nafsu setan.

Berusaha untuk tetap tenang, merapikan seragamnya setelah Agatha membuka pintu mobil lebih dulu, lalu menyusul gadis itu agar bisa masuk ke area aula utama bersama atlet lain.

"Sini, tangannya gue gandeng, biar kaya orang pacaran."

***

Beberapa penampilan dari muda-mudi Trijaya dalam menyambut kedatangan para atlet kebanggan telah dimulai. Sorakan riuh pertanda support penuh untuk kontingen sekolah masing-masing saling bersahutan hingga tak segan berteriak lantang guna didengar oleh orang lain bahwa pasukan mereka yang terbaik.

Mendengar gemuruh dari dalam, membuat Agatha semakin gugup. Telapak tangannya berkeringat dingin bersamaan dengan lambaian tangan dari dua orang gadis tanpa seragam sekolah yang menatapnya sumringah.

"Semangat Agatha! Setelah ini tanding, kan?"

"Iya, doain lancar ya, Grace, Alice." Tak sengaja bertemu dengan keduanya saat antri di luar area kolam renang, sekalian memberikan kalimat penenang agar Agatha tidak lagi gugup meskipun pemuda di sebelahnya menepuk-nepuk bahunya sejak langkah mereka memasuki loker khusus para atlet.

Menepi sejenak dari hiruk pikuk luar ruangan, menenangkan diri sebelum peluit pertandingan dimulai, berkali-kali mendengar ungkapan semangat, namun bukan itu yang Agatha mau.

"Tha, bisa ganti baju sekarang? Satu jam lagi kita bakal naik."

Agatha mendongak, bangkit dari duduknya sembari mengangguk kala coach Winda memberi intrupsi kepadanya. "Yaudah, ganti baju, gih. Gue tunggu di tribun, ya?" Seakan tak rela, tapi mau tidak mau harus merelakan Dirga untuk menjauh dan membiarkannya duduk di barisan penonton.

Melihat antusias yang terdengar, acap kali membuatnya tersenyum getir. Banyak yang berharap atas kemenangan perwakilan dari masing-masing sekolah. Begitupun Trijaya. Hampir semua angkatan Agatha berkumpul memenuhi tribun utama. Sorak sorai bak penonton sepak bola, mulai terdengar bersamaan dengan langkah kakinya yang masuk ke area pertandingan.

Kini, seluruh pasang mata memandang kagum ke arahnya. Siulan pembangkit semangat serta tepukan riuh dari mereka semakin membuat Agatha menunduk, takut mengecewakan Trijaya jika dirinya tak mampu menyabet trophy pada tahun ini.

"Berani taruhan nggak?"

"Gue sih, yakin kalau Agatha cuma dapat gelar juara tiga.."

"Atau enggak sama sekali," terkekeh di sela-sela kalimatnya, Reyma dan juga Mona seolah menganggap remeh skill yang Agatha asah sedari kecil.

Mendapat gelar sebagai atlet renang kebanggan Trijaya, tak serta merta membuat gadis itu besar kepala dan yakin akan mempertahankan juaranya. Bahkan ketika ucapan sumbang yang sering ia dengar saat melangkahkan kaki di tepi kolam, sering membuatnya tak percaya diri. Alhasil, insecure dan mulai overthinking ketika melihat lawan.

Menghela napas panjang, berusaha tetap tenang, duduk di bangku yang telah disediakan oleh panitia sembari mendengarkan setidaknya satu dua patah kata sambutan dari kepala sekolah.

Jantungnya mulai berdegup kencang, tepukan riuh dari tribun seakan membuatnya semakin gugup. Padahal tahun kemarin animo penonton tidak sebesar ini, lantas mengapa tahun ini begitu membludak?

"Percaya deh, tahun ini gelar juara dia bakal diambil orang lain."

"Seyakin itu, Reym? Lo lupa kalau dia atlet dengan jam terbang tinggi?"

Reyma tak peduli mengenai klaim orang lain terhadap Agatha, baginya gadis itu hanyalah seonggok batu kecil yang siap ditendang kapan saja.

Jika dilihat dari postur serta tingkat percaya diri lawan sih, Agatha jauh di bawah. Namun jangan anggap remeh ketika peluit pertandingan berbunyi, Agatha seolah berubah menjadi titsan siren yang membelah lautan dengan tingkat kecepatan yang tidak bisa diragukan.

"Kalau Agatha menang, lo bayarin sewa apart gue bulan ini."


***



Seriously, Tha? [TERBIT]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang