30 - Mula Tuduhan

37.9K 2.7K 107
                                    

Dirga hanya bisa menunduk sebelum akhirnya menoleh ke arah gadis di sebelahnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Dirga hanya bisa menunduk sebelum akhirnya menoleh ke arah gadis di sebelahnya. Agatha sengaja menggebrak ranjang Nabil sembari menunjuk wajah cowok itu menggunakan telunjuknya. "Heh! Nggak ada bersyukur sama sekali lo, ya! Udah mending Dirga mau jengukin!" sungut Agatha, yang sontak membuat Nabil beralih posisi menjadi duduk.

"Sudah seharusnya dia tanggung jawab atas kesalahannya, bukan malah lari dan mementingkan urusan pribadi!"

"Tanggung jawab untuk apa? Untuk bikin wajah lo makin babak belur? Bener-bener manusia---"

"Udah Tha, udah." Sengaja memotong kalimat Agatha, menjauhkan gadis itu dari Nabil agar tidak semakin emosi ketika melihat raut tak bersalah cowok itu.

Agatha enyah, berusaha untuk menetralkan deru napasnya selepas mengeluarkan emosi yang sempat tertahan. Namun kali ini tidak. Agatha tak bisa menahannya lagi bila Dirga dijatuhi kesalahan yang mungkin bukan dirinya penyebab utama masalah ini.

"Lagian, lo nggak mungkin kena dampak dari asap kalau nggak menyalakan api!"

"Dia dulu---"

"Nggak usah nyalahin Dirga, bukannya sedari awal lo yang ngerjain dia sampai bikin motornya rusak?! Lupa atau sengaja nggak mau ingat?!"

Nabil mengatupkan mulutnya bersamaan tatapan menusuk dari Agatha yang menyorotnya sembari melotot. Bak seorang nenek yang tengah memarahi cucunya lantaran mengambil buah di kebun tetangga.

"Dan kemarin, mula dari segala masalah ini gara-gara ide goblok lo yang ngasih permen karet ke kursi Dirga. Coba kalau lo nggak ada niat buruk, mungkin Dirga nggak akan semarah itu sama lo!"

Jika diungkit kembali serta mencerna kalimat yang direkap oleh Agatha. Nabil memang memiliki salah atas dampak yang diterimanya saat ini, dan itu berkat benih yang ia tuai. Jadi, nikmati saja luka di atas ranjang rumah sakit.

Dirga menuntun Agatha untuk keluar dari ruangan, padahal niatnya tadi hanya ingin meminta maaf pada Nabil agar semua masalah selesai. Tidak perlu mengungkit masa lalu, yang terpenting hidupnya berjalan damai sebelum kelulusan tiba.

Tapi, setelah mengenal Agatha, apakah Dirga bisa menghirup napas dengan bebas?

"Kenapa? Bukannya pernyataan gue tadi ada benarnya? Dia udah---"

Ucapan gadis itu menggantung begitu saja kala pintu terbuka dari dalam. Menampilkan Gerry dan juga raut bersalah. "Gue sebagai sahabat Nabil minta maaf atas tindakan dia tempo hari. Gue sadar, ini salah dia, bukan lo." Agatha berdecih, tak percaya dengan bualan dari Gerry, karena ia tahu jika kedua preman itu memiliki sifat yang hampir mirip.

"Iya, gue ma---"

"Nggak! Nggak ada kata maaf buat kalian berdua!"

Bukan. Bukan Dirga yang merespon demikian, akan tetapi Agatha. Gadis yang saat ini tengah bersidekap dada itu nampak memiliki dendam kepada Gerry dana juga Nabil. Tak segan untuk menghindari tatapan dari sang musuh, hingga berniat mengajak Dirga untuk segera beranjak bila Gerry tak melanjutkan kalimatnya.

"Semua administrasi Nabil udah ditanggung sama pacarnya. Lo nggak perlu merasa bersalah dan biayain semua keperluan dia selama di rumah sakit."

"Pacar Nabil? Tajir bener sampai berani tanggung administrasi rumah sakit. Anak petugas pajak dia?"

Dirga menyenggol lengan Agatha, segera mengajak gadis itu untuk beranjak dari sana sebelum cuitannya berdampak pada orang sakit yang tengah mengantri obat di apotik. Jangan, bahkan Dirga berharap teriakan gadis itu tak mampu didengar oleh kamar sebelah.

"Ck! Ternyata udah di-handle sama pacarnya, gue pikir orang tua dia kaya. Ternyata semua dana yang sering dipamerin selama ini hasil dari morotin duit pacarnya!"

"Pacar Nabil keturunan crazy rich kali."

"Nggak percaya kalau belum nunjukin mutasi rekening. Bisa jadi duitnya dari gadun---"

"Heh, mulut!"

Segera membungkam mulut gadis itu dengan satu tangannya, mengapit leher jenjang yang pernah merasakan belaian lidahnya, lalu menariknya keluar dari area rumah sakit lantaran tak mau dicap sebagai sanak saudara yang yang tengah ghibah setelah menjenguk pasien sakit.

***

Memungut satu buah buket bunga yang tergeletak di depan pintu apartemen. Membaca surat yang tertulis di sana, menggerutu, ingin membanting buket tersebut saat itu juga. "Bapak-bapak lawak."

Ikut nimbrung atas pernyataan Agatha, mengintip tulisan yang tertulis di sana sembari mengernyit bingung kala menyadari adanya kejanggalan dari kalimat tersebut.

"Contoh Bapak yang nggak terlalu mementingkan anaknya!"

Membuka pintu apartemen, mempersilakan Dirga untuk masuk membawa buket tersebut, sembari membacanya dalam hati, 'selamat untuk anakku yang telah memenangkan lomba voli antar sekolah.'

"Serius dari Bokap lo?"

"Hmm!" Hanya berdehem, melempar ranselnya ke sembarang arah diikuti kemeja yang ikut terlepas dari tubuhnya.

"Emang selama ini dia nggak tahu kalau lo atlet renang?"

"Tahu! Tapi ingatan dia cuma mampu menampung memori nggak lebih dari satu Gigabyte!"

Agatha merebahkan dirinya di sofa, sementara Dirga baru saja kembali dari dapur setelah mengambil air dingin di dalam kulkas. Sempat menawari Agatha, namun jawabannya justru membuat ia menggeram kesal. "Maunya pelukan."

"Asu," batin cowok itu. "Gue balik!"

"Kenapa buru-buru?"

"Takut khilaf," jawabnya dari ambang pintu, tak terlalu didengar oleh Agatha.

Kembali berkelana dalam sepi. Menatap langit-langit plafon dengan segala asumsi mengenai hari esok. Entah mengapa, kemenangannya kali ini bukan merupakan titik kejayaan atas eksistensinya di Trijaya. Semakin berdebar, tidak tahu apa penyebabnya, namun yang pasti Agatha takut akan hari esok.

Menghilangkan pikiran buruk itu dengan mengambil ponselnya, membaca satu persatu pesan singkat yang masuk, salah satunya dari Sabara.

From : Papa Sabara

Hari ini Papa sudah pulang.

Oleh-oleh untuk kamu sudah saya titipkan Pak Rama.

"Nggak butuh!" tepat saat kalimat itu terlontar, ketukan pintu dari arah luar terdengar bersahutan dengan gemuruh dari dalam hatinya. Ingin tertidur pulas, pura-pura tak mendengar, namun suara pria paruh baya telah menganggu waktu istirahatnya.

"Taruh di luar aja nanti Agatha ambil!" berteriak nyaring hingga suara dari luar tak lagi terdengar, membuat Agatha dapat mengukir mimpi indahnya tanpa mengharapkan sebuah notifikasi keramat berdering berulang kali.

"Anjing! Gue mau tidur bang---"

"Cek akun pekan olahraga Trijaya sekarang!"

Mengernyit atas sambungan telepon dari Grace, belum sepenuhnya sadar dengan maksud dari ucapan tersebut, tetapi pada detik setelah kedua matanya hendak terpejam, suara Alice justru menyahut ... menyambar ponsel Grace. "Lo dituduh pakai doping!"


***



Seriously, Tha? [TERBIT]✅Where stories live. Discover now