Insomnia di Suatu Malam

37 2 4
                                    



Nia membolak-balikkan badan untuk yang kesekian kali. Malam ini, entah mengapa belum juga dia bisa tertidur. Kelopak matanya sudah berat seakan digelayuti beban. Dia telah mencoba memejamkan mata namun belum jua dapat pergi ke alam mimpi.

Nia mendekap sebuah guling erat. Dia menggaruk kepala yang tidak gatal. Rambut lurus panjangnya menjadi awut-awutan terutama di atas telinga. Setelah menarik napas panjang, Nia pun duduk di atas kasur.

Ih, susah amat mau tidur, yak!

Nia memutuskan mengambil ponsel yang terletak di atas meja belajar di samping kasur. Dia memeriksa chat yang masuk dan tersenyum sesaat.

Telinganya menangkap suara tertawa mengikik yang terdengar samar-samar. Jemarinya berhenti menggeser layar sentuh android. Nia berusaha menajamkan telinga, menoleh ke arah pintu kamar kosnya. Suara itu terdengar dari luar.

Tempat kosnya merupakan bangunan berjejer yang terdiri kamar demi kamar. Ada halaman berumput yang memberi jarak pada sebuah bangunan rumah bertipe 36 yang dihuni oleh pemilik kos. Sebuah pagar geser hitam terletak manis mengurungi deretan kamar dan juga rumah tersebut bersamaan.

Dan suara tawa itupun terdengar lagi. Nia melirik jam di ponsel yang menoreh angka satu. Dia merasakan irama detak jantung yang menjadi semakin cepat. Kedua tangan dan kakinya mulai terasa dingin, sementara bagian tubuh yang lain masih hangat.

Nia berdiri tanpa suara. Dia letakkan ponsel di tempatnya semula. Satu, dua, tiga langkah, dia sudah sampai di hadapan pintu.

Lagi, suara lengkingan tawa itu terdengar. Masih berupa samar, seolah berjarak puluhan meter.

Itu suara siapa sih, manusia atau jadi-jadian?

Bisiknya dalam hati, merasa was-was. Semua penghuni kos pasti masih tertidur jam segini. Pun keluarga yang tinggal di rumah depan.

Nia menarik gerendel yang terpasang di pintu dan memutar kunci ke arah kanan secara perlahan, mencoba menjaga agar tidak mengeluarkan suara. Tangannya menggeser gagang pintu ke bawah lalu menariknya. Dia mendekatkan kepala agar bisa melihat keluar kamar.

Lampu bohlam kecil memberi cahaya di teras hingga ke halaman depan. Nia melangkahkan kaki kiri dengan tetap mempertahankan pegangan tangan pada handel pintu. Kepalanya menoleh ke kiri, pada deretan tiga kamar yang di sana, tiada lampu kamar yang dihidupkan. Lalu menyusuri halaman, tidak ada siapapun di sana.

Nia memperhatikan rumah pemilik kosan di seberang kamar, hanya lampu teras yang hidup. Tidak terdengar suara baik dari kepala keluarga dan istrinya yang masih dalam masa nifas, serta bayi yang masih berusia 28 hari. Mengingat hal itu, jantung Nia semakin bertalu.

Bergantian menoleh ke arah kanan. Empat kamar di sisi kanannya pun masih tampak gelap. Dan pandangan matanya pun tertuju pada pagar hitam setinggi 140 sentimeter.

Telinganya kembali menangkap suara lengkingan tawa. Barulah Nia menyadari sosok yang terduduk di atas pagar itu. Siluet seorang perempuan berambut hitam lurus menjuntai dengan pakaian putih panjang yang menutupi hingga kaki.

Nia terkesiap saat memandang wajah sosok itu yang tampak begitu pucat. Sosok yang seperti sedang memperhatikan ke arah rumah pemilik kosan.

Nia menarik separuh badan masuk kembali ke kamar dengan cepat dan kembali mengunci pintunya.

Keringat membasahi pelipis dan tengkuk. Tangannya masih terasa dingin. Cepat-cepat Nia mengucapkan istighfar berlanjut ayat kursi berulang-ulang dalam hati, sambil memejamkan kedua matanya.

Sekonyong-koyong melintaslah sebuah adegan dari film "Kuntilanak" yang pernah dia tonton.

"Jika suara tawa itu terdengar dekat, berarti Kuntilanak itu berada jauh dari kita. Tapi sebaliknya, jika suaranya terdengar jauh, berarti kunti itu posisinya dekat dengan kita."

Lintasan sebuah dialog dalam film itu semakin mempercepat irama jantungnya.

Nia pun kembali berbaring di atas tempat tidur dan menutup kepalanya dengan bantal.

Flash Fiction bersama CloverlineWhere stories live. Discover now