Aku Memilih Melupakanmu

19 2 4
                                    

"Meisha? Meisha?"

Suara bariton yang memanggil namanya merupakan hal terakhir di ingatan Meisha sebelum dia tak sadarkan diri. Kepalanya mengalami benturan yang begitu keras akibat kecelakaan itu. Yang Meisha tahu, saat terbangun dia sudah terbaring di atas kasur berseprai putih dengan tubuh tertutupi selimut lurik dan oksigen yang terpasang di hidungnya. Kedua mata Meisha mengedip berulang kali. Sakit terasa tak hanya di kepala, di perut, kaki, bahkan hidung dan kemaluannya juga.

*
"Meisha? Kamu sudah sadar?"
Meisha kembali mengedipkan mata agar penglihatannya semakin jelas. Seraut wajah perempuan separuh baya dengan kerudung berwarna hijau muda yang syukurnya dia kenali.

"Mama?" Tanya Meisha tak yakin. Hatinya yang membisikkan bahwa sosok yang berdiri di sisi tempat tidur adalah ibunya.
"Meisha?"
Ada satu suara lagi yang memanggil namanya. Meisha menatap seorang laki-laki yang berdiri di samping mamanya. Kedua mata lelaki itu tampak berkaca-kaca. Dan Meisha tampak begitu kesulitan mengumpulkan keping ingatannya.

*
"Syukurlah, Meisha sudah tersadar dari koma. Namun jangan terlalu banyak diajak bicara. Biarkan dia cukup istirahat. Apalagi kecelakaan itu telah merenggut sebagian dari ingatannya. Jadi, saya harap keluarga jangan memaksa Meisha untuk mengingat-ingat."

Seorang laki-laki berjas putih yang mengenakan kacamata dan stetoskop melingkari lehernya tampak berbicara dengan Mama. Meisha hanya mendengarkan tanpa mengerti apa yang ia bicarakan. Terlebih rasa sakit yang ditimbulkan segala selang yang terpasang di tubuhya ini membuat Meisha tak ingin berpikir yang lain. Sudah bagus, laki-laki yang dipanggil Mamanya dengan sebutan dokter itu telah mencabut selang yang sebelumnya terpasang di hidung. Selang itu untuk memberinya makan, kata dokter. Tapi karena Meisha sudah sadar, selang itu sudah tak diperlukan lagi.

Tak hanya mencabut selang di hidungnya, dokter tadi pun mengganti perban di kepala Meisha. Dari situ, Meisha baru tersadar bahwa dia sepenuhnya botak. Hilang sudah mahkota yang menghiasi kepalanya.

"Baik, saya lanjut ke pasien lain ya, Bu."
"Iya, Dok. Terima kasih banyak."
Meisha melihat dokter itu berpamitan pada mamanya dan...satu orang lagi yang Meisha tak tahu namanya.

"Kamu dengar, kan kata dokter tadi. Sudah, kamu yang sabar. Kita tunggu pelan-pelan sampai Meisha ingat sama kamu."
"Iya, Ma. Yang penting Meisha cepat sembuh. Biar pernikahan kami diundur saja. Aku akan tunggu Meisha kok."

'Laki-laki itu menyebut pernikahan? Pernikahan siapa?' Namun baru hendak membuka sedikit memorinya, kepalanya kembali merasakan nyeri. Meisha pun memutuskan untuk menyerah.

*
"Maaf. Ini semua gara-gara aku."
Meisha merasakan kedua tangannya digenggam seorang pria. Tiba-tiba saja mereka sudah duduk di bangku sebuah taman, yang penuh oleh tanaman berbunga.

Meisha memperhatikan sekelilingnya dan pandangannya kembali terhenti pada pria di hadapannya.
"Kalau saja waktu itu aku bisa mengantarmu ke salon, kamu nggak akan mengalami kecelakaan ini."

"Aku nggak pernah menyalahkan Mas Dani, kok."
Meisha mendengar bibirnya menguntai sebaris kalimat.
"Meski kecelakaan itu telah membuatku kehilangan mahkota yang kubanggakan. Aku takut, apa Mas Dani masih mau menerimaku yang seperti ini?"

Meisha baru tersadar bahwa tiada selang yang terpasang di tubuhnya. Tangannya meraba kepalanya yang mulus namun tak berperban.

"Meisha, aku nggak peduli mau kepala kamu botak sekalipun, aku sayang kamu, sampai kapanpun."

Lelaki yang ia sebut sebagai Mas Dani itu meraihnya dalam pelukan.
"Aku tetap akan menikahi kamu, Sayang."

*
Meisha terkesiap dan meringis sesaat kemudian. Gerakan tangannya masih terhalang selang infus yang terpasang. 'Jadi yang barusan itu, apa? Cuma mimpi?'

Perempuan itu melirik jam dinding yang tergantung di kamar bercat hijau itu. Jarum pendeknya mengarah ke angka dua. Mungkin ini malam hari karena Meisha melihat Mamanya terbaring nyenyak di sebuah sofa tak jauh dari tempat tidurnya. Sulit untuk membedakan siang dan malam selama berada di sepetak ruangan ini terus menerus.

"Kamu, terbangun, Nak? Ada apa? Mau minum?"
Mama yang terbangun segera bangkit dan mendekati Meisha. Setelah memastikan cairan infusan masih menetes lancar, beliau mengambil segelas air putih di atas meja samping tempat tidur Meisha.
Meisha meneguk dua kali melalui sedotan.
"Mau pipis, Nak? Nanti Mama ambilin pispot."
Sejak selang di saluran kemihnya dicabut, Meisha membutuhkan bantuan Mamanya tiap kali hendak buang air.

Meisha menggelengkan kepalanya perlahan dan meminta Mamanya untuk kembali beristirahat. Pandangan matanya yang mengitari ruangan seolah mencari sesuatu, tertangkap oleh Mama.
"Dani sudah Mama suruh pulang. Kasian dia, selama koma selalu nungguin kamu di sini. Dia benar-benar merasa bersalah."

Meisha hanya terdiam mendengarkan penjelasan Mamanya.
"Duh, Mama lupa. Kamu belum ingat Dani, ya. Mama pikir tadi kamu mencari-cari dia." Mama mengibaskan tangannya sendiri dan beranjak kembali ke sofa.

'Nggak, Ma. Meisha sudah ingat semuanya. Dani tunangan Meisha, kan. Tapi biar saja, mereka mengira Meisha masih lupa. Meisha tak ingin dia malu punya istri dengan bekas luka operasi, tak berambut pula, seperti Meisha. Biar Dani, bersama yang lain....'

Sebulir air mata mengalir di pipi Meisha. Lekas dihapusnya, sebelum mamanya melihat. Meisha kembali memejamkan mata.
'Lupakan aku, Dani.'

Flash Fiction bersama CloverlineWhere stories live. Discover now