Usah Kau Kembali Padaku

15 2 1
                                    

"Sibuk? May I call?"
Selalu itu kata-kata yang pertama kali dia ucapkan dalam chat untuk menyapaku. Bukan, bukan siapa-siapa. Hanya seorang kenalan sosial media. Aku pikir nggak ada salahnya berteman makanya aku fine-fine aja menanggapi dirinya.

"Telepon aja, ya?"
Biasanya dia akan ulangi lagi permintaan itu, kalau aku sudah mulai lama berpanjang-panjang kalimat.
"Kenapa memangnya? Yang penting komunikasi, kan?"
Malam itu aku masih mengejar waktu mengerjakan tugas makalah dari dosen killer, Pak Syafei. Rasanya masih malas untuk bicara. Chat aja tak mengapa, balasnya kan nggak mesti on time.

"Call aja sih?"
"Hmm, kamu lebih suka nelepon daripada chat?"
Okay, Dev, nggak usah geer. Dia mengatakan itu hanya karena dia seorang auditorial yang lebih senang bicara daripada menulis.
Aku menghela napas seraya memerintahkan jantungku sendiri untuk meredakan degupan.

"Iya, males ngetiknya."
"Kalau gue lagi males denger suara kamu."
Okay, maaf kalau jawabanku barusan agak keterlaluan. Aku hanya mengujinya. Apa pentingnya seorang kenalan yang tak pernah bertemu muka meneleponku setiap malam?
Dan percakapan itupun berakhir dengan sebuah kiriman emoticon tanda sedang badmood darinya.

Sebuah sentuhan di pundak menyadarkanku kembali di masa kini.
"Sudah siap? Ayo berangkat?"
Aku mengekori punggung Mas Dika dengan kepala menunduk. Tiba-tiba saja dia berhenti dan meraih tanganku. Rasanya seperti ada gelombang yang menjalar membawa kehangatan dari hati ke seluruh tubuhku.

Kurasakan jemari Mas Dika mengelus jemari manis kananku.
"Aku sudah nggak sabar mau menyematkan sebuah cincin di sini."
Spontan saja wajahku memerah karenanya.
"Ayo, masuk mobil." Aku mengangguk patuh dan memasuki Brio merah miliknya setelah laki-laki berpostur tegap itu membantu membukakan pintu.

"Okay, cincin sudah dipesan. Suvenir sudah. Oya, untuk undangan bagaimana? Sudah buat daftar namanya?"
"Sudah, nih."
Tanganku bergerak mengeluarkan sehelai kertas dari dalam tas. Aku menyodorkannya pada Mas Dika. Diam-diam aku mencuri pandang pada raut wajahnya yang menurutku flawless. Tulang pipinya yang menonjol, mata jernih yang tersembunyi di balik kaca mata, dahinya yang lebar hingga helai rambutnya yang terjatuh menutupi dahi dengan sempurna.

Mas Dika masih mengamati daftar undangan yang tadi kuberikan saat dia tiba-tiba berkata, "udah nggak usah lama-lama lihatnya, ntar naksir loh!"

Aku mendorong lengannya halus dan tertawa kecil. "Kalau nggak naksir waktu Mas ngelamar waktu itu sudah saya tolak!"
Ganti Mas Dika yang tersenyum geli.
"Iya juga, ya. Dan aku pastinya setelah itu tak sanggup menghadapi dunia."
"Gombal, ah!"
Kali ini agak kuat kutepuk punggungnya.

"Ya sudah, kita pulang, yuk. Besok lagi kita lanjut urus katering dan salon."
"Iya, Mas."
Sekonyong-konyong Mas Dika menyodorkan tubuhnya dan dengan kilat mengecup keningku sebelum aku siap.

"Ayo." Dia mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri seolah barusan tidak terjadi apa-apa.
Aku pun menyambut tangannya. Dev, tampaknya kamu harus siap-siap dengan kejutan lainnya dari calon suamimu ini.

Dika Permana Wijayakusuma adalah seorang laki-laki yang tak cuma tampan tapi juga romantis. Aku mengenalnya saat sedang mengirimkan barang dari perusahaanku dan dia menyambutku waktu itu.

Masih kuingat caranya meminta nomor kontakku, "jadi, lain kali kalau kami perlu supply lagi, bisa langsung menghubungi Mbaknya. Akan lebih memudahkan kami, nantinya."
Nyatanya seminggu kemudian setelah pertemuan singkat itu, Mas Dika kembali mengajakku bertemu untuk makan siang bersama.
Sungguh tak menyangka suatu saat nama kami berdua tersemat di undangan; "Dika dan Devi".

Lalu, bagaimana dengan Putra?
Sudah lama sekali dia tak menghubungiku. Terakhir adalah ucapan selamat karena aku diwisuda. Akupun sengaja tak menghubunginya lebih dulu. Walau sepertinya kontak dia masih aktif, dilihat dari masih rajinnya dia update status.

Aku di Bogor, dia di Kalimantan. Lokasi kami begitu berjauhan sehingga tak pernah sekalipun kami bertemu. Hubungan kami hanya sebatas persahabatan di sosial media yang kurasa tak perlu dilanjutkan mengingat statusku sekarang.

Waktu seolah berlari dan pernikahanku dengan Dika akan berlangsung seminggu lagi. Kurebahkan tubuh lelah sepulang bekerja untuk terakhir kalinya sebelum cuti. Syukurlah, semua persiapan kami sudah selesai. Besok pagi aku mulai perawatan pengantin. 'Ah, aku akan menjadi pengantin dan Mas Dika akan menjadi suamiku!'
Hatiku memekik riang.

Mataku sudah hampir terpejam saat denting Line berbunyi. Jam 22.00 yang tertera di sudut kiri atas ponselku. Sejurus kemudian aku harus menahan diri untuk tidak membanting ponselku setelah membaca sebuah pesan yang tercantum di layar.
"Sibuk? May I call?"



Flash Fiction bersama CloverlineWhere stories live. Discover now