Sang Pembenci Hujan

11 2 1
                                    


“Wah, hujan lagi!” Seru Bagas dari balik kaca helm standar sehingga gadis yang diboncengnya tak bisa mendengar. Diandra melekatkan rangkulannya di belakang jaket tebal Bagas. Laki-laki itu menghentikan laju motor dan mengajak kekasihnya turun. “Kita berteduh dulu, yuk.”

Diandra mengiyakan dan menyambut uluran tangan Bagas. Gerimis sudah semakin deras, hingga titik-titik air bak peluru menghujam bumi. Sebuah pondokan kecil di pinggir jalan menjadi tujuan mereka untuk mencegah sekujur tubuh basah.

Bagas melepaskan helm dan meletakkannya di bangku pondokan. Diandra mengikutinya. Gadis itu masih terdiam dan memandangi kendaraan yang berlalu lalang di jalanan kecil yang tak pernah tampak ramai itu. Jalanan yang hanya bisa dilalui satu mobil. Beberapa kendaraan roda dua lainnya pun sudah mulai menghilang dari jalan, ada yang mengebut untuk segera sampai di tujuan, ada juga yang mengikuti langkah mereka, berteduh di balik mini market di seberang.

“Gas, kamu inget nggak?”
Bagas sedikit terkejut saat gadis berambut lurus hitam panjang dan mengenakan kaus pink dan celana jeans hitam itu tiba-tiba mengeluarkan suara.
“Kenapa kita akhirnya dekat, saling suka, trus jadian…,” Diandra meneruskan dan sengaja berhenti di tengah percakapan untuk menarik napas.

Bagas tersenyum tanda mengerti ke mana arah pembicaraan gadis di sisinya itu.
“Emangnya karena apa, Di?”
Diandra paham pertanyaan itu dilontarkan Bagas hanya untuk menguji dirinya.
Diandra mengarahkan pandangan matanya tepat ke kedua bola mata Bagas yang tampak sendu di balik kacamata.
“Karena kita berdua membenci hal yang sama, kan?”

“Maksudmu hujan?”
Laki-laki itu membenarkan posisi kacamatanya dan kembali mengarahkan pandangannya ke jalanan. Semata-mata untuk meredakan sedikit degupan jantungnya karena tatapan Diandra. Meski dia tahu, suara jantungnya takkan bisa terdengar gadis di sisinya, tertutupi oleh hujan sederas saat ini.
Di saat itulah, bayangan cerita setahun lalu tetiba melintas.

*
“Dasar hujan sialan!”
Maki seorang pria yang tiba-tiba sudah berdiri di samping Diandra, sambil meremas sebuah gulungan karton tebal yang sudah basah terguyur hujan. Diandra hanya diam saat laki-laki itu melempar gulungan karton yang digenggamnya tadi. Tampak sebuah goresan seperti sketsa yang samar-samar tersibak karena gulungannya sedikit terbuka.

Hati-hati Diandra memunguk gulungan karton itu dan membukanya.
“Bagusnya. Ini kamu yang buat?”
Bagas mengerutkan kening, tak menyangka dirinya sedang ditanya.
“Iya. Itu seharusnya tugas kuliahku. Ah, gara-gara hujan sialan itu, tugasku jadi hancur berantakan!”
“Ya, kamu kan bisa buat lagi yang lebih bagus dari ini, kan?”

Pandangan gadis itu menusuk langsung di kedua bola mata Bagas yang terlindung di balik kacamata.
“I..iya sih,” entah kenapa bicara Bagas menjadi terbata seketika, “ah, tapi jadi gak bisa kumpul tepat waktu dong!”
Diandra tersenyum dan Bagas bisa merasakan hatinya menghangat.

“Jadi, kamu jurusan arsitektur ya?”
Bagas mengangguk dan langsung balik bertanya, “kamu sendiri jurusan apa? Kayaknya baru ini lihat kamu di kampus.”
“Aku jurusan Sastra. Namaku Diandra.”

Bagas tertegun melihat tangan Diandra terjulur ke arahnya. Ragu-ragu Bagas menyambutnya. Tangan itu sedikit basah karena terciprat air hujan yang menetes dari atap koridor kampus tempat mereka berteduh.

“Aku Bagas.”
Bagas berusaha mengukir senyuman karena teringat sedari tadi belum membalas senyuman gadis ramah di hadapannya.
“Ini beneran mau dibuang?”
Diandra menggulung kembali karton itu dan menyodorkannya kepada Bagas yang langsung menyambutnya.
“Makasih deh, ada juga yang menghargai usahaku. Tapi tetap aja, gak jadi alasanku untuk tidak membenci hujan.”

Diandra memiringkan kepalanya sedikit setelah Bagas menyelesaikan kalimatnya.
“Kamu juga membenci hujan?”
“Iya. Kenapa? Kamu juga?” Bagas balik bertanya yang disambut dengan tawa kecil Diandra.
Diandra lalu menunduk dan menganggukkan kepalanya.

“Aku benci hujan karena hujan yang telah membawa Papa pulang dalam keadaan mabuk, memukul Mama dan mengusir kami dari rumah, sepuluh tahun lalu.”
Spontan Diandra menoleh dan menatap lekat-lekat lelaki di sampingnya. Bagas pun tak kalah terkejut saat menyadari dirinya baru saja mengeluarkan uneg-uneg pada sosok yang baru saja dikenal. Mungkinkah ini pengaruh dari hujan?

Namun tak urung, Bagas pun meneruskan, “makanya aku mau jadi arsitek. Biar kubangun sendiri rumahku sehingga nggak ada lagi yang berani mengusir lagi.”
“Kamu tinggal dengan Mamamu?”
Bagas menggelengkan kepalanya. “Mama sudah meninggal dua tahun setelah bercerai dengan Papa.”
“I’m sorry to hear that, Bagas.”
“Nggak papa, kok. Itu cerita yang sudah lama sekali. Kamu sendiri kenapa membenci hujan?”

Diandra menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Bagas.
“Karena pada saat hujanlah terjadi kecelakaan motor yang menewaskan Papa dan Mamaku lima tahun lalu.”

*
“Bagas, hujannya sudah reda tuh.”
Panggilan Diandra barusan mengembalikan pikiran Bagas ke saat ini.
“Oiya, ayo kita jalan lagi.” Mereka berdua melangkah menuju tempat motor Bagas diparkir tadi. Diandra menempati posisi di belakang Bagas dengan hati-hati dan kembali melingkarkan lengannya di pinggang lelaki itu.

Memang aku dan kamu tidak menyukai hujan, namun hujan jualah yang mempertemukan kita,’ bisik Diandra dalam hati, di tengah suara motor menderu.

Flash Fiction bersama CloverlineWhere stories live. Discover now