Catatan Hari Itu

34 0 0
                                    

Hujan turun lagi sore hari, malam ini akan dingin seperti kemarin. Menuju parkiran saya berlari kecil. Tas punggung berlabelkan eiger yang saya bawa terasa begitu ringan. Mungkin hanya Tuhan dan saya yang mengerti mengapa saya begitu menyukai merek itu. Sebuah romansa. Dan menit berikutnya ditengah hujan yang tak begitu deras, diatas motor jepang berlindungkan ponco biru, saya kembali menusuri jalanan. Begini saja rupanya. Kehidupan ini sudah kembali menjadi misteri, setelah beberapa bulan lalu berusaha saya tebak rupa dan arahnya. Benar kiranya Tuhan bicara dengan bahasanya sendiri.

Hujan mulai terlihat semakin tak ramah lagi. Waktu sudah jam lima lebih. Ah, saya ingin segera sampai di depan rumah hari ini. Semalam, Raka (anakku) tak begitu nyenyak terlelap. Setiap satu jam sekali menangis, dan itu artinya mata harus tetap terjaga, dan tenaga harus dikerja lemburkan untuk memangku dan menidurkannya kembali. Ibunya, istriku, tertidus pulas semalam. Dua butir Tuzalos, obat flu yang hanya bisa didapat di apotik tanpa resep dokter,  ditelannya sesaat sebelum tidur. Tak bisa diganggu rupanya. Saya ingin segera tiba dirumah saat ini, tapi sebuah janji dengan seniman tua harus memanggil. Sudah cukup lama janji itu terucap. Hari ini juga harus saya tepati.

Sepeda motor jepang yang saya kendarai kubelokan ke kanan. Ah, didepan sana kuhapal betul. Toko buku diskon, Toga Mas. Saya menyukai kesana. Sudah lebih dua bulan saya tidak membeli buku lagi. Mungkin sepulangnya saya akan mampir. Persimpangan lampu merah samping telkom, belok lagi kekiri, kiri satu kali lagi, lalu lurus menuju taman makam pahlawan, mentok, lalu kiri lagi. Sudah hampir sampai. Di depan pagar rumahnya saya lihat seniman tua itu berdiri lalu tersenyum.

“Sampai juga, kukira kau tak jadi datang” katanya ramah.
“kopi?” ia menawarkan setelah saya berusaha melepaskan ponco biru basah dengan cukup tergesa-gesa.
Tentu saja tawaran semenarik ini tak kuasa saya tolak. Sebatang sigaret, secangkir hangat kopi,  dan seorang teman lama. Lengkap sudah.

Tak lama kukira, namun waktu sudah begitu akrabnya menyapa. Sudah lebih dari 3 jam saya dengannya bertukar kata di studio samping rumahnya. Dan kami berdua tau, seperti yang kami perdebatkan lama dulu, perpisahan adalah sebuah awal pertemuan yang ditunggu. Saya pamit, hujan tak lagi turun. Dan benar kiranya, malam ini dingin seperti kemarin.

Sepeda motor jepang yang setia menemani kembali menyapa hangat dinginnya aspal. Saya menyukai sangat perjalanan di atas sepeda motor, sendirian, sehabis hujan dimalam hari. Begitu damai. Malam ini bandung tak begitu ramai. Cukup sepi malah.  Ah… satu lagi tempat yang harus kuhampiri. Black and White Kafe. Setidaknya sedikit browsing atau sekedarnya membuka email, friendster, facebook, deviant, bisa kulakukan disana.

Pelataran parkir kafe ini cukup renggang. Saya menaiki tangga menuju lantai dua. Disana lebih nyaman. Setidaknya lebih tenang. Di sudut tangga, saya lihat empat tamu sedang asik dengan urusannya. Dua laki-laki dan dua perempuan. Masih kuliah.

Orang yang ditunggu belum juga tiba, saya memesan teh manis hangat dan satu bungkus Dji Samsoe Filter. Coba untuk menghubungi,  saya buka maibox di handphone saya. Entahlah, rasanya ada yang aneh dengan nomer saya. Biasanya dalam cuaca seperti ini, susah sekali untuk menghubungi saya dinomer yang satu ini. Dan benar saja, setelah sedikit mengumpat, sebuah pesan masuk.

fan, bsk sy br tiba. hr ini cancel.” Tertulis jam 16.02.
Shitt!! Sekarang jm 21.20 dan pesannya baru saja saya terima.

Sudahlah saya sudah terlanjur memesan teh hangat. Malam ini dingin dan sendiri di kafe tidak begitu mengasikkan. Saya khusuk di depan laptop. Buka friendster, facebook, dan sedikit mengintip Newwebpick sambil mendengarkan mp3 dari Winamp. Teringat lagi telefon tadi pagi. Dari Bony. Marah-marah dia rupanya. Marah karena beberapa kali menelfonku tak juga diangkat. Marah karena sidang sarjananya tak juga kuhadiri. Maaf sobat, tapi aroma kental rutinitas membuatku lupa akan persahabatan sejati seperti dirimu. Sepertinya saya tak pantas mengakut sahabat.

Tapi bukan itu yang menggangguku malam ini. Sebuah nama menjadi salah satu pembicaraan kami. Yup.. miss u bro. Kutulis saja singkat di agendaku begitu telfonku terputus untuk kedua kalinya dengan Bony tadi pagi, “contact dodo, segera!”.

Dodo? Apa kabarmu sobat? Tak kuasa saya mendengar kisahmu.

Ah, mengingatnya, Ari Widodo, membuatku merindukan masa lalu. Unpad, Jatinangor, Damri, bukit belakang sekolah, dan tentu saja Mustika Biru begitu saja berlintasan di anganku malam ini. Salah satu kisah yang tak terlupakan dari hidupku.

Lagu "Nia"-nya The Panas Dalam (saya lebih suka menulisnya dengan "Nie A." dan melafaskannya dengan "Nia" sesuai keinginan The Panas Dalam) mengalun setelah dua lagu dari She, Mencoba Mencintai Mu dan Selingkuh Sekali Saja.
Saya tersenyum membaca inbox yang masuk. Darinya. Lelah yang mendera tak lagi dirasa. Email itu singkat. Tapi saya menyukainya dan membacanya berulang-ulang.

Tuhan.. aku ingin segera pulang malam ini.

---
Bandung, 7  November 2008

Antara Kau, Aku, dan HujanWhere stories live. Discover now