Senja di Cigadung

26 0 0
                                    

Hari ini cerah. Tidak seperti hari-hari kemarin. Saya asik bersenandung ria dalam perjalanan ke Jatinangor, walau senandung saya tidak begitu enak untuk didengar, tapi selalu asik bersenandung di atas motor. Sebuah janji dengan sahabat lama.

Kantin di salah satu fakultas kampus negeri ini sudah banyak berubah. Tidak ada lagi yang saya kenal. Jengah juga duduk disini. Saya tidak lama. Hanya melihat-lihat sebentar adakah orang yang ditunggu menampakkan muka. Ragu dengan apa yang saya lakukan, saya melangkah keluar. Wah... ini sudah bukan kampus yang dulu saya kenal.

Saya suka dengan romansa phobia yang sedang saya rasakan saat ini. Sudah lama tidak melakukannya. Berjalan dan menikmati setiap jengkal langkah mengenang kembali segala hal. tentang semua.
Saya mengenalnya disini. Di salah satu sudut kampus ini. Orang yang saya tunggu, sahabat sejati.

Lama menunggu, cukup membosankan, apalagi bila waktu dinikmati diri sendiri. Coba-coba cek sms mungkin ada kabar, begitulah yang saya kira. Handphone yang saya pegang saat ini tidak bersuara, 2 sms masuk tanpa saya sadari. Ini salah satu kebiasaan buruk yang seringkali saya lakukan. Membuatnya silent. Damn!

Open.. sebuah nama yang dulu saya kenal.
Next... "Bukannya besok?" wah.. sms satu lagi bikin saya celingak-celinguk. Ternyata  ini... besok!!! ... what a stupid things to do.

Hilang sudah senandung riang, dalam perjalanan pulang ke Bandung. Setelah sempat menelfon beberapa teman untuk mengusir kejenuhan, serta bertukar sapa dengan Bony sang pemandu sejati. saya pulang. Kembali ke bandung.

"kring".. suara di saku celana kanan sedikit membuat saya lega. Dari studio. "ting, ditunggu di cigadung ya, bawa makanan, lapernih." suara diujuang sana berkoar tanpa basa-basi. Begitulah mereka, orang-orang gila yang saya kenal. viva the Ganesha!

Motor saya belokan ke kanan, menuju taman makam pahlawan lalu kiri. Jalan disini macet selalu sore hari. Saya benci kemacetan. Lalu mampir sebentar ke Borma. Jreng... mangga mateng pindah sudah, berikut kopi abc dan tiga bungkus cigaret. Ini saya hapal betul, jajanan lengkap kesukaan orang-orang gila itu, dan saya termasuk salah satunya.

Setelah berbasa-basi sebentar dengan tukang parkir yang kiranya hapal betul dengan saya, saya melanjutkan perjalanan. Motor berjalan pelan mengiringi aspal jalan sebelah borma. Masih ada satu tujuan lagi sebelum mampir. Saya selalu suka dengan warung dekat pertigaan cikondang samping sebuah warnet baru berwarna putih. Apa yang diinginkan lengkap sudah. Jam sudah berterik pukul lima sore... perut ini sudah menjawab.

Lalu sore itu kami habiskan dengan segala hal ke-jeprutan. Kopi hanya sesaat saja mengering. Pameran di penghujung tahun sudah menuntut kami-kami mempublish karya terbaru.

"pokoknya kita bikin jakarta tau bandung seperti apa?'
"emang sperti apa bro?"
"hei pak, tua. Makanya jangan main terus di rumah. Kenali Bandung, kamu toh, makan dan buang TAI disini juga? tak pula kau kenal kota indah ini?"
"indah dari mana? bandung sudah sumpek. kemana-man macet. Plaza dimana-mana ada hampir disetiap sudut, kalo perlu tanah pemakaman dibawah inipun dijadikan plaza!"
"Hei, Bandung sudah berubah pak!" sudah banyak majunya, kecuali itu... walikotanya harus diganti. dada (Dada rosada) sudah bikin kota ini jadi tak nyaman lagi"
"Nah loh...Itu kau pun setuju, bandung sudah tak nyaman."
"sudahlah...ribut saja kerjanya. lalu kapan kita berkarya?"
"ting... kau belilah dulu ,susu murni dibawah, dekat pertigaan, enak disana. Biar kedua mahluk ini bisa kembali ke alamnya!"

oooo... haruskah saya yang kesana. Tidak, jangan disana.

-----
Bandung, 11 Nov 2008

Antara Kau, Aku, dan HujanDove le storie prendono vita. Scoprilo ora