15. Jangan Kuliah ke Luar Negeri. Titik.

26.1K 3.3K 1K
                                    

ATURAN MEMBACA:

1. Hatimu mungkin akan berontak. Tahanlah. Dan, bukalah hati dan pikiranmu sejenak..

2. Komen bagian-bagian yang bikin kamu jleb. Komentar dari kalian adalah dukungan nyata agar buku ini tetap bisa lanjut.

3. Screenshot dan share di Instagram atau media sosial favoritmu!

***

Tren pemuda masa kini: Kuliah di luar negeri!

Ambil beasiswa jika tak punya uang. Pilih negara keren di Eropa. Dan, please, jangan lupa unggah foto di Instagram--karena itu yang terpenting.

Mungkin, kemarin, kamu membuka Instagram seperti biasa, menelusuri linimasa, lalu menemukan sebuah foto.

Foto seseorang di luar negeri. Menara Eiffel dan langit biru di Paris menjadi latar fotonya.

Yang kamu tahu dari seseorang ini adalah dia sedang menempuh kuliah di luar negeri.

Penasaran, kamu membuka akun Instagram-nya.

Dan...

Ew, norak banget. Punya teman bule, dipamerin, batinmu kala melihat swafotonya bersama dua pria berkulit putih dan seorang gadis berambut pirang. Padahal, diam-diam, jika kamu menjadi dia, kamu akan melakukan hal yang sama. Like, duh, kita, orang Indonesia, selalu merasa keren punya teman bule.

Tapi, kok, enak, ya, sambil kuliah, sambil traveling gitu, batinmu saat melihat fotonya di Prancis, di Jerman, di Swiss, di Inggris, dan negara-negara keren di Eropa lainnya.

Enak banget, sih, pulang-pulang sukses deh dia. Bisa langsung dapat kerja bagus. Wong kuliah di tempat keren gini, batinmu saat menemukan fotonya di lorong kampusnya yang tampak seperti bangunan tua khas Eropa.

Lalu, kamu melihat orang-orang lain; dari kalangan biasa saja, bisa kuliah di luar negeri, menggunakan beasiswa. Dan, pada saat itulah, kamu berpikir, "Fix. Aku bakal kuliah ke luar negeri. Pakai beasiswa."

Sungguh, itu pengaruh yang bagus, tetapi, umm, coba, deh, kamu pikir-pikir lagi.

Mengapa kamu ingin kuliah di luar negeri?

Apakah semata-mata karena foto-foto di Instagram itu?

Iya, iya, kamu pasti bilang tidak. Tetapi, hatimu tak pernah bisa menyangkal: Hatimu terpengaruh oleh foto-foto itu. Kamu ingin mengunjungi negara-negara baru. Tetapi, ingatlah, uang siapa yang kau gunakan? Beberapa uang beasiswa berasal dari uang rakyat. Jika selama ini kamu mengutuk para pelaku korupsi, adakah kamu memiliki keinginan ke negara A, B, C menggunakan uang rakyat? Coba, pikir-pikir lagi.

Atau, apakah kamu ingin kuliah di luar negeri karena kualitas pendidikannya yang bagus?

Oh, ini jelas, kamu pasti bilang iya. Tetapi, kualitas apa yang kamu tawarkan? Potensi apa yang kamu miliki, yang bisa mengubah komunitasmu menjadi lebih baik? Kontribusi macam apa yang telah kamu pikirkan? Topik riset macam apa yang kelak kamu minati? Anu, jangan muluk-muluk berbicara tentang kontribusi dan topik riset. Yang realistis-realistis aja. Yang kamu tahu kamu bisa melakukannya, Insya Allah.

Atau, apakah kamu memilih kuliah di luar negeri karena kesal dengan sistem pendidikan di Indonesia?

Kamu pasti akan mengangguk penuh ragu. Lalu, sedetik kemudian, kamu akan bercerocos tentang ini, tentang itu; dan, semua tentang keburukan pendidikan di Indonesia.

Like, hey, perubahan apa yang sudah kamu berikan? Sistem pendidikan di luar negeri juga ada kekurangannya; kita saja yang belum melihatnya. 

Atau, apakah kamu kuliah di luar negeri karena ingin mengubah kehidupanmu dari segi finansial? Like, ingin menjaminkan karirmu dan mendapat posisi di perusahaan ternama di tanah air?

Oh, sayangnya, kuliah di luar negeri tidak akan menjamin apa-apa, selain gelar di belakang namamu jika berhasil menyelesaikannya. Sad but true. Bahkan, pernah aku mendengar kisah beberapa orang di luar negeri dengan gelar Ph.D yang frustrasi karena tak kunjung mendapat pekerjaan.

Kau mungkin berpikir, "Indonesia gitu, sih. Orang berpotensial diabaikan. Kerja di luar negeri ajalah."

Eits, ingat dulu, kamu menggunakan uang siapa ketika kuliah di luar negeri? Uang rakyat? Wah. Berani sekali, ya, kamu. Kebanyakan beasiswa selalu memintamu untuk kembali ke kampung halaman, berkontribusi di sana. Jika kamu tak ingin terikat, carilah beasiswa yang tidak mengikat atau gunakan uangmu sendiri.

Kesimpulannya, jika kamu berpikir kuliah di luar negeri adalah merasakan salju pertama di negara baru, bisa sering singgah ke negara tetangga, berteman dengan para bule, jaminan kerja di perusahaan ternama, kehidupan sukses di masa depan, well, kurasa kamu berekspektasi terlalu banyak.

Kurasa kamu hanya butuh traveling, bukan kuliah di luar negeri.

Sebab kuliah di luar negeri adalah menahan homesick yang datang bertubi-tubi, membaca jurnal-jurnal setiap minggunya yang membuatmu kepalamu pening, mengerjakan tugas-tugas yang terlalu kelewatan sampai-sampai kamu kurang tidur pada hari-hari tertentu, menjaga budget bulanan yang menipis di kota yang mahal, memahami perbedaan budaya yang kadang membuatmu tersisihkan dan tersinggung, menggenggam erat prinsipmu di tengah lingkungan yang bertolak belakang dengan prinsipmu, bertemu orang-orang yang, perlahan-lahan, tanpa kamu sadari, berusaha membuatmu melepaskan prinsipmu tersebut.

Apakah kamu siap?

Apakah kamu yakin siap dengan berbagai tantangan saat kuliah di luar negeri?

Apakah kamu rela jika waktumu lebih banyak terkuras di perpustakaan dan laboratorium kampus daripada negara-negara tetangga?

Ilmu atau uang; yang sesungguhnya jadi prioritasmu sejak kali pertama kamu memutuskan ingin kuliah di luar negeri?

Coba, pikirkan lagi.

Dan, aku sama sekali tidak ingin meruntuhkan semangatmu.

Aku pun sama denganmu: Aku bercita-cita kuliah ke luar negeri.

Tetapi, aku juga khawatir: Apa yang sebenarnya kucari?

Jaminan kerja di perusahaan ternama? Memiliki pengalaman tinggal di luar negeri? Ingin membuktikan kepada orang-orang bahwa aku mampu hidup mandiri? Ingin membuktikan bahwa hidupku lebih baik daripada mereka yang pernah merendahkanku? Ingin posting gambar di Instagram?  Mengapa aku sedangkal ini? Apa yang sebenarnya kucari?

Dan, bila memang aku telah mendapatkan semua itu, lalu apa? Apakah itu kesuksesan yang nyata? Atau, kamuflase yang terlihat indah di Instagram?

Jadi, apa niatmu kuliah di luar negeri?

Ketika menjawabnya, apakah kamu sudah jujur pada lubuk hati terdalammu?

***

jadi, apa kesanmu ketika membaca bab ini? do you feel something? :)

sedikit cerita, ini adalah salah satu bab yang aku posting awal-awal bahkan sebelum judulnya jadi "jika kita tak pernah jadi apa-apa", adakah yang masih bertahan sejak hari itu? ketika judul buku ini belum jadi seperti sekarang?

alhamdulillah, buku ini sudah tersebar di toko buku. bisa segera dibeli, ya. di shopee juga banyak. tapi hati-hati dapat yang bajakan/replika, ya. beli aja langsung di shopee: gagasmedia atau gramedia. :)

Follow aku juga di Instagram, Tumblr, Twitter, ya: @AlviSyhrn .

thankyouthankyouthankyou!

- Alvi Syahrin -

***

Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-ApaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang