8. Hanya Murid Rata-Rata yang Tak Penting

12.4K 1.4K 243
                                    

Dia hanya murid rata-rata yang tak penting.

Dia tidak duduk di bangku depan, tidak duduk di bangku belakang. Dia terhalangi oleh sinar para murid di bangku depan yang begitu rajin dalam menjawab setiap pertanyaan di kelas. Dia juga tertutupi oleh murid-murid di bangku belakang yang terkenal paling gaduh di kelas.

Guru-guru tidak terlalu mengenalinya. Nilainya tak pernah wah. Berusaha belajar semampunya, tetapi tak pernah bisa menguasai soal ujian seratus persen. Berusaha menghafal teori dan rumus, tetapi lupa di kemudian hari. Dia lulus sekolah tanpa prestasi membanggakan.

Seperti air yang merembes dari keran, aku berlalu begitu saja.

Mungkin, waktuku nanti, hiburnya dalam hati.

Tetapi, jujur, hatinya iri. Sepanjang fase hidupnya, dia selalu menjadi yang rata-rata. Menjadi mahasiswa yang juga tak berprestasi. Lulus kuliah dengan IPK standar, bekerja di perusahaan yang biasa-biasa saja, itu pun butuh waktu lama sampai mendapatkannya. Orang-orang tidak terlalu menganggapnya. Orang-orang tidak terlalu mengenalinya. Dan, dia iri pada mereka yang berada di bangku-bangku terdepan kehidupan.

Teman-temannya yang senantiasa menduduki peringkat pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima.

Teman-temannya yang memiliki prestasi ini-itu saat kuliah, lalu dengan mudahnya mendapat S2 untuk lanjut kuliah master di luar negeri.

Teman-temannya yang bekerja di startup bergengsi.

Namun...

Dia juga harus sadar.

Berada di bangku terdepan tidaklah mudah.

Mereka yang senantiasa menduduki peringkat teratas? Mereka sudah dikenal sebagai murid dengan peringkat terbaik, mereka punya reputasi itu, identitas mereka sudah lekat dengan itu. Orang-orang sekitar berekspektasi pada mereka. Dan, itu jadi tekanan tersendiri. Mereka akan berusaha mempertahankan posisi ini, tetapi alur dunia begitu tak terduga, dan ini menjadi tekanan baru bagi mereka, yang menimbulkan kekhawatiran dan kecemasan. Bagaimana jika peringkatnya turun dan itu mengecewakan orang-orang terdekatnya? Terdengar remeh, tetapi tak ada yang remeh dari yang namanya tekanan dan beban.

Mereka yang memiliki prestasi ini-itu saat kuliah? Mereka selalu dianggap, "Ah, kamu mah gampang dapat kerja. Kan, sudah punya prestasi ini-itu." Itu jadi tekanan tersendiri. Sebab setiap kali mereka melamar sebuah pekerjaan, mereka cemas memikirkan, "Percuma juga mengejar prestasi ini-itu kalau ujung-ujungnya ada aja susahnya." Sungguh jadi beban.

Iman Usman, salah satu pendiri Ruangguru, melalui buku pertamanya, bercerita bahwa, terlepas dari kenyataan bahwa dia lulusan sebuah universitas ternama, terlepas dari kenyataan bahwa dia lulus dengan berbagai prestasi yang membuat CV-nya gemilang, dia tetap ditolak saat melamar kerja di sana-sini. Padahal dia tidak mencari kerja yang muluk-muluk. Dia hanya ingin menjadi seorang guru di sebuah sekolah. However, rejections and failures were inevitable. Prestasi dan penolakan adalah dua cerita yang berbeda. Berprestasi tak selalu berarti diterima. Tak berprestasi tak selalu ditolak. Namun, bagi seseorang yang berprestasi, penolakan ini menjadi semacam tanda bahwa prestasi-prestasi — yang kita iri dari mereka — tak bisa selalu membantu. Now he becomes something, though.

Mereka yang bekerja di startup bergengsi? Awalnya memang terasa indah. Tetapi, sebagaimana perjalanan dunia yang misterius, di pertengahan mereka akan merasa, "Gue harus ke mana lagi ini? Kok gini-gini aja?"

Contoh yang lebih nyata: aku. Saat aku menulis buku ini, aku juga menjadi pengajar di sebuah kelas menulis online. Aku dan partnerku membuat kurikulum, materi, mengulas tulisan setiap murid, memberikan komentar-komentar untuk tulisan mereka, yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas tulisan mereka. Kami melihat peningkatan yang signifikan dari beberapa murid. Namun, itu menjadi tekanan tersendiri buatku setiap kali menulis. Aku adalah penopang kelas menulis online, jadi aku merasa, "Tulisanku harus lebih bagus, kan aku yang ngajar menulis." Tetapi, aku juga sadar bahwa performa kerja kita tak bisa selalu on point, sebagaimana tulisan kita yang tak bisa selalu on point. Namun, tekanan itu ada, kecemasan itu hadir.

Ini... harusnya membuat kita merenung: apa pun posisi kita di dunia ini, seindah apa pun itu, akan selalu ada kecemasan yang mengintai.

Mudah berkata, "Tetapi, mereka, kan, enak, sudah begini-begitu, bla, bla, bla," tetapi, yang namanya kecemasan; ia selalu menghancurkan segalanya.

Memang, kita hanya orang-orang biasa, tetapi, lihatlah indahnya. Orang-orang jadi tak berekspektasi apa-apa pada kita. Kita tak melekat pada satu identitas. Kita tak punya reputasi. Kita sudah terbiasa gagal. Kita sudah terbiasa jadi yang paling biasa.

Jadi, seharusnya, kita bisa menulis kisah di lembaran baru dengan lebih santai.

Kanvas masih putih.

Tak perlu membandingkan dengan rekor masa lalu.

Tak ada yang berekspektasi.

Tak ada yang menyaksikan.

It's just us and our own story.[]

***

Jadi, bagaimana perasaanmu setelah baca ini? Cerita dong, it's always nice to hear from you.

- Alvi Syahrin

Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-ApaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang