Berhala

11.4K 654 124
                                    

Arwah Datuk Paduko Berhalo datang ke rumahku. Kulihat sosok sekira empat meter itu duduk bertinggung mengunyah es krim di dapur. Janggut putihnya basah. Lacak di kepala tampak lapuk. Baju kurung tanggung di badan mungkin dulunya berwarna merah terang. Beberapa bongkah tanah menggantung di helai-helai rambut.

Dia menangis.

Awalnya tidak ingin kuacuhkan. Walaupun aku tahu, dia keturunan bangsawan. Walaupun aku akhirnya menyadari dia datuk pendiri Jambi. Tetapi dia sama saja dengan sosok-sosok lain yang suka berkeliaran di rumahku tanpa mengetuk pintu. Oleh karena itu, kuteruskan langkah melewati dapur hendak menuju pintu keluar. Walau biasa datang telat, untuk hari ini aku sedang tidak ingin terlambat ke kantor.

Sebelum langkah pertama terjejak, sekelebat mangkuk es krim mendarat ke jidatku dengan telak.

Kuraba jidat menoleh ke arah si arwah.

"Sakit?"

Aku melengos. Melanjutkan langkah yang tertunda.

Tiba-tiba teko stainless terbang cepat, tepat membentur belakang kepalaku.

"Aduh!"

"Sakit?"

Aku geram. Tapi sungguh tidak ingin acuh. Kulanjutkan lagi langkah.

Lalu sebuah meja melayang ke arahku. Menggantung tanpa tali di atas kepala, di udara.

"Kalau kau tidak peduli, maka benda itu akan jatuh langsung ke kepalamu!"

Aku menghela napas. Mundur kembali mendekati dapur.

Di lantai dapur. Lelaki tinggi besar itu masih jongkok mengunyah jagung rebus yang ditemukannya di dalam kulkas.

"Jangan pura-pura tidak tahu dengan kedatanganku."

"Aku tidak berpura-pura."

"Kau kan tahu aku datang ke rumahmu."

"Aku tidak mengundang."

"Aku ini Raja!"

"Lalu?"

"Hargai!"

Aku memasuki benar ruang dapur. Kupilih salah satu kursi yang mengelilingi meja makan. Meletakkan bokong dan menghadap ke arahnya. Tak bersuara. Menunggunya kembali bicara.

"Bukankah kau anggota dewan? Tugasmu menyampaikan aspirasi rakyat semacamku. Bukan begitu?"

Aku berusaha tampak serius mendengarkan.

"Kuminta kau sampaikan pada rekan-rekanmu persoalan aspirasiku," suaranya pelan menyahut tapi jelas terdengar.

Aku mengerutkan kening.

"Bilang sama mereka tentang protesku, bilang pada semua yang punya kuasa di pemerintahanmu."

Aku menyimak.

"Aku protes atas kekalahan kita melawan musuh. Kalau Pemerintah tidak menanggapi protesku ini, maka aku akan menjadi arwah gentayangan yang tidak saja mampu meneror tetapi juga mencelakai siapapun manusia yang aku inginkan."

Aku tertawa.

"Kenapa tertawa?"

"Bagaimana aku bicara soal protes Datuk ke Pemerintah?"

"Apa susahnya untuk datang ke ruangan mereka? Tentu kau biasa bergaul dengan mereka kan? Berlakulah semacam biasa, mengobrollah dan sampaikan unek-unekku ini."

"Aku pasti dikira gila sudah bicara dengan arwah Datuk."

"Lah, kau memang telah bicara denganku!"

Politikus KakusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang