Marbot Uighur

494 79 19
                                    

Di kampung kami, semua orang mengenal baik sosok Uighur, pemuda tampan bisu yang cerdas dan ringan tangan. Dia tidak selesai mengecap bangku SLB namun bisa baca tulis dan berhitung dengan baik. Dia tidak pernah masuk pesantren atau madrasah tetapi paham dengan tepat anjuran dan larangan agamanya. Anaknya sangat kreatif dan berinisatif tinggi. Dialah orang pertama yang peduli dengan kondisi mesjid kampung kami yang selalu sepi jemaah. Bila sholat Shubuh dan Magrib tiba pasti tidak lebih dari tiga orang yang berjamaah dengan imam di mesjid tersebut. Anak-anak tidak terbiasa bermain atau belajar bersama di mesjid. Mesjid seolah-olah menjadi tempat yang asing untuk dikunjungi sesuka hati.

Uighur kemudian mengutarakan niatnya padaku. Sebagai mantan guru SLB di kota aku memahami komunikasi dengan bahasa isyarat. Dia membrondongku dengan ide-idenya dan memintaku ambil bagian dari rencana baiknya tersebut. Dia ingin membuka taman bermain di halaman mesjid. Sebagai anak yang multi talenta hal tersebut tentu tidak sulit, Uighur cuma butuh sumbangan bahan dari warga dan dia bisa mengerjakan semua itu dengan naluri dan logikanya yang di atas rata-rata. Uighur memintaku menjadi pengajar sukarela. Mengajarkan apa saja, tidak harus mengaji, mungkin mengajarkan melukis, teater atau rebana. Uighur berkata, dia akan mencari guru silat biar pemuda-pemuda kampung mereka tidak perlu jauh-jauh belajar silat di kampung tetangga. Dia juga akan mengajak Aisyah, kembang desa, untuk ambil bagian dalam rencana itu. Aku jadi terbatuk ketika mendengar nama Aisyah disebut dan hal itu membuat Uighur otomatis tertawa dengan penuh keyakinan akan rencana hebatnya.

Benar saja, Uighur cuma butuh waktu beberapa bulan untuk mengubah wajah mesjid kampung kami yang suram menjadi penuh keceriaan, pelan-pelan namun pasti, satu persatu rencana Uighur berhasil diwujudkan. Aisyah menjadi magnet yang luar biasa, gadis berjilbab yang berparas macan alias manis cantik itu tidak saja menyedot langkahku ke mesjid tapi juga hampir rata-rata pemuda di kampung. Komunitas pencak silat dan pengajian di mesjid kami berkembang dengan pesat. Selain menyedot perhatian para pemuda kampung, kemampuan Aisyah mendongeng untuk anak-anak menjadi magnet tersendiri. Anak-anak pun sehabis pulang sekolah akan berbondong-bondong ke mesjid untuk mendengar dongeng, membaca buku di perpustakaan sudut mesjid, bermain ayunan, mencoba jungkat jungkit, perosotan, panjat ban, atau sekedar bercengkrama dengan anak lain di pekarangan mesjid yang asri. Mesjid yang beberapa waktu lalu sunyi senyap, kini hingar bingar bak pasar menjelang waktu sholat maupun waktu-waktu tertentu. Berbagai aktivitas warga kini difokuskan di Mesjid.

Aku sungguh mengagumi Uighur, pemuda yatim piatu yang sudah genap berusia 17 tahun itu memang karunia Allah buat kampung kami. Semenjak kedatangannya dari Aceh beberapa tahun lalu untuk tinggal dengan kakek neneknya di kampung kami, membuatku memutuskan untuk bertahan di kampung dan tidak lagi kembali ke kota. Aku mengukuhkan niat untuk mengabdikan hidup dan ilmuku di kampung dengan belajar mencintai apapun yang kumiliki. Uighur sebelum baliq menetap di kediaman kakek neneknya, kemudian setelah baliq memutuskan menjadi marbot dan tinggal di mesjid. Dia tidak banyak menuntut atau meminta, dia hanya bekerja dengan ikhlas dan penuh rasa cinta akan pekerjaannya sebagai marbot, hal itulah yang membuatnya tampak selalu bahagia dan berkecukupan. Dan hal tersebut, seringkali membuatku iri.

***

Datuk Brahim meninggal.

Untuk pertama kali, aku melihat Uighur berduka. Datuk Brahim adalah kakeknya sekaligus muadzin mesjid kampung kami. Datuk Brahim memang sudah tua, umurnya sudah lebih 75 tahun, tetapi fisiknya tampak berusia 65 tahunan. Dia tampak selalu berdiri tegak dan nyaris tidak mengenakan tongkat kalau berjalan ke mesjid. Setiap waktu sholat menjelang, beliau akan selalu menjadi orang paling pertama yang datang ke mesjid selain Uighur, beliau akan siap-siap mengumandangkan azan. Aku tidak pernah mendengar Datuk Brahim sakit. Jangankan sakit keras, mendengarnya batuk atau pilek saja mungkin bisa dihitung jari. Hal yang sangat mengejutkan ketika mendengar beritanya meninggal di TOA mesjid menjelang azan Shubuh berkumandang.

Politikus KakusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang