Halo Bapak Bupati, Kiamat Sudah Dekat!

1.5K 190 42
                                    

"Halo, benar ini Bapak Bupati?" suara telepon di seberang terdengar terengah-engah.

"Siapa ini?" Tanya Bupati mengenakan baju tidur duduk di pinggir dipan. Ibu Bupati masih terlelap di atas dipan, di samping Bapak Bupati tanpa terganggu sedikit pun. Bupati mendelik pada asistennya yang juga masih mengenakan baju tidur sedang berdiri di hadapannya. Si asisten menunduk saja tidak berani membalas tatapan Bupati. Kalau saja asistennya itu tidak mengatakan telepon itu sangat penting pasti dia tidak akan mengangkatnya. Akan dia biarkan saja. Masih Pukul 04:10 WIB. Dini hari.

"Saya, Pak. Masa Bapak tidak ingat?" sahut suara di seberang lagi.

"Iya saya tidak ingat. Lalu apa pentingnya situ menelpon saya tengah malam buta begini?"

"Bencana alam tidak henti-hentinya terjadi. Bapak juga perlu tahu, kalau gurun-gurun di Makkah kini telah ditumbuhi rumput. Gedung-gedung tinggi menjulang mengelilingi Makkah. Bayang-bayang menara jam gadang sudah menutupi Ka'bah!"

"Bagaimana mungkin Jam Gadang bisa menutupi Ka'bah! Pembohong!"

"Mecca Royal Clock, Pak Bupati. Selama ini pikiran kita telah diracuni dengan isu perubahan alam yang menyebabkan arah kiblat bergeser. Tentu banyak yang percaya, saya rasa Bapak Bupati juga. Padahal isu itu sebenarnya menginginkan kita berpaling dari Ka'bah. Para penghasut ingin kita menyembah Mecca Royal Clock. Tidak ada pergeseran bumi yang menyebabkan kiblat kita berpindah dari Ka'bah. Penghasut sudah menggiring kita untuk menyembah selain Allah."

"Sudahlah. Aku tidak mengerti arah pembicaraanmu. Aku ingin istirahat. Baru dua jam aku tertidur. Kau bangunkan aku untuk membicarakan hal penting. Apakah menurut perkiraanmu ini adalah hal yang begitu penting?"

"Kiamat sudah dekat, Pak!"

Bupati mengerutkan kening, "Lalu?"

"Bapak adalah pemimpin kami. Bapak harus mengingatkan kami tentang kiamat. Tidak ada yang lebih penting daripada kiamat!"

"Kau salah alamat. Bicara sana sama para ulama."

"Para ulama bergantung pada Bapak sebagai pemimpin, apalagi kami orang awam yang tidak punya apa-apa. Kiamat sudah terlalu dekat. Kami tidak paham apa yang telah kami persiapkan sebagai orang awam dan miskin ibadah." Lalu terdengar isakan di seberang telepon.

Bupati menghela napas. Kesal. Dia meletakkan telepon yang menempel di kupingnya dengan keras dan cepat. Posisi telepon sudah on hook.

"Orang gila! Kok bisa-bisanya kamu hantarkan telepon seperti ini pada saya! Memang kamu tidak mengerti apa yang harus kamu kerjakan sebagai ..."

"Kenapa Bapak tutup teleponnya?" suara di seberang telepon tadi kembali terdengar. Suaranya dekat sekali di telinga Si Bapak Bupati.

Bupati terkejut. Dia mengocok-ngocok lubang kupingnya dengan jari kelingking kiri.

"Angkat lagi teleponnya, saya masih ingin menelpon Bapak."

Wajah Bupati pucat. Begitu juga asisten yang membawa telepon tadi.

"Kau juga mendengar suara yang aku dengar?" Bupati setengah berbisik berbicara dengan asistennya.

Si asisten menatap Bupati. Dia mengangguk pelan.

Wajah Bupati makin pucat.

"Diangkat, Pak! Bapak tidak tahu betapa genting permasalahan yang sedang saya laporkan kepada Bapak ini? Kiamat sudah dekat!"

Tangan bupati gemetar. Tidak ada keberanian untuk meraih gagang telepon yang terus berteriak tersebut.

"Bapak Bupati yang terhormat, mudah-mudahan Bapak tidak tergolong orang munafik. Karena selain tanda-tanda di atas, tanda lain bahwa kiamat sudah dekat adalah orang-orang munafik akan berkuasa! Bapak Bupati tahu artinya munafik?"

Bapak Bupati refleks hanya menggeleng pelan.

Suara di telepon langsung berubah berang, "bagaimana mungkin Bapak tidak tahu arti munafik kalau Bapak orang beragama. Penyakit munafik itu berbahaya. Apalagi kalau sampai diidap seorang pemimpin. Agama bakal sekedar jadi barang dagangan. Kepentingan lebih besar berperan dari agama itu sendiri. Bukankah Bapak diusung oleh partai agama?"

Bapak Bupati masih dengan refleks mengangguk.

"Apakah yang sudah Bapak perjuangkan untuk agama Bapak? Agama kita? Apa yang sudah Bapak perjuangkan untuk ummat? Berapa banyak kebijakan yang telah Bapak cetuskan untuk meninggikan agama Bapak? Apakah Bapak pernah menghimbau kami para warga Bapak untuk beribadah sebagai bekal kami di hari akhir kelak? Apakah Bapak tidak membiarkan kami silau dengan kehidupan dunia yang meninabobokkan kami menjelang kedatangan Dajjal? Apakah Bapak akan tega membiarkan kami menemui Dajjal dan menjadi sesat?" suara di seberang kembali terisak.

Bapak Bupati tubuhnya bergetar hebat.

"Agama? Pernahkan Bapak pertanyakan pada kami kegunaannya untuk hidup kami? Agama tidak sekedar berguna ketika mau Pemilu, Bapak Bupati. Agama lebih berguna seumur hidup daripada sekedar lima tahun sekali. Apakah Bapak pernah peduli kalau membangun agama adalah tugas pemimpin? Mengingatkan kiamat sudah dekat adalah tugas maha penting seorang pemimpin? Ketika kiamat tiba, tidak ada lagi gunanya kuasa, tidak ada lagi gunanya posisi. Tidak ada manfaatnya sekian banyak pengamanan. Berapapun banyak uang yang berhasil Bapak miliki tidak mungkin mampu menyogok para malaikat atau bahkan menyogok Tuhan untuk dijauhkan dari dahsyatnya kiamat."

Bapak Bupati menelan ludah, tidak ada kata-kata yang mampu dikeluarkan. Suara di seberang telepon itu terasa sangat dekat di kepalanya.

"Bapak masih merasa berita yang saya bawa ini tidak penting?"

Bapak Bupati menatap asistennya.

"Dengar Bapak Bupati yang terhormat, tidak penting lagi Pemilu yang akan berlangsung hitungan 85 hari lagi. Kalau kiamat sudah lebih dulu memporakporandakan dunia, maka siapa yang akan peduli posisi kuasa Bapak. Kecuali Bapak mau mengingatkan warga Bapak tentang kiamat sudah dekat. Perlu Bapak himbau warga Bapak untuk segera mempersiapkan diri. Membekali diri menghadapi kiamat. Ajak para ulama. Berbarislah bersama para pemuka agama untuk mengingatkan berita penting ini. Siapa tahu, usaha Bapak akan Tuhan perhitungkan sehingga Bapak mendapat pertolongan di Padang Mahsyar. Bagaimana Bapak Bupati?"

Bapak Bupati mengangguk.

"Syukurlah, Bapak mengerti. Jadi, tolong segera sampaikan tanpa jenuh pada warga Bapak bahwa kiamat sudah dekat. Tidak ada lagi waktu berleha-leha. Segera kumpulkan amal ibadah sebanyak-banyaknya. Tumbuhkan iman di dalam hati masing-masing. Percayalah pada Tuhan karena tidak ada yang perlu dipercaya selain Sang Khaliq!"

Bapak Bupati kembali mengangguk.

"Jangan lupa, Pak Bupati. Berita ini lebih penting daripada Pemilu. Jadi, tolong segera sampaikan kepada seluruh warga Bapak, bisa jadi kiamat lebih dekat daripada Pemilu. Jadi, persiapkan diri untuk menghadapi kiamat lebih dulu sebelum menghadapi Pemilu."

Bapak Bupati setengah mengangguk.

"Tuuuut.... Tuuuuut..... Tuuuuut...." Tiba-tiba telepon yang on hook terputus. Bapak Bupati kembali menatap asistennya dengan pandangan penuh keheranan.

"Ba-bagaimana mungkin? Telepon itu kan sudah dari tadi saya tutup. Apakah di rumah dinas ini ada hantunya?" Bupati setengah berbisik menatap si asisten.

Si asisten menggeleng, "Saya sebenarnya lebih takut kiamat daripada hantu, Pak Bupati." Kata asisten mengambil telepon dari pangkuan Bapak Bupati.

Bapak Bupati semakin ternganga ketika menyadari kabel telepon itu ujungnya menjuntai saja tanpa terpasang ke kotak telepon manapun.

"Hei, asisten! Telepon itu?"

Si asisten menoleh ke Bapak Bupati, "iya, Pak. Makanya karena itu telepon ini segera saya sampaikan ke Bapak. Telepon ini sangat penting, Pak. Bersyukurlah Bapak sudah ditelepon. Tinggal Bapak saja selanjutnya bagaimana menyikapinya."

Bapak Bupati termangu di pinggir dipannya memandangi kepergian asistennya bersama telepon itu. Tanpa sadar adzan Shubuh pun berkumandang. Bapak Bupati makin menggigil.

***

Jambi, tengah malam.

Politikus KakusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang