Apakah Namamu Ibrahim?

3.7K 392 59
                                    

Tidak ada hal yang paling menakutkan bagiku, kecuali ketika aku harus memasuki ruangan ini. Ruangan 4 x 6 meter. Bercat putih gading dengan sedikit ornamen merah. Sebuah meja kerja dari kayu jati di tengah ruangan. Permadani lembut terhampar di lantai. Sekitar 12 kepala binatang diawetkan yang tergantung berjajar di dinding. Beberapa rak berisi gerabah antik beraneka ukuran. Serta aroma pengap yang begitu akrab menyergap setiap kali aku memasukinya.


Tentu tidak tampak hal yang di luar kewajaran apabila melihat pertama kali ruangan tersebut. Semua tampak biasa. Lelaki kate si pemilik ruangan tersebut pun demikian. Tetapi, cobalah perhatikan mata lelaki itu. Pandang betul manik matanya. Sepasang mata yang tidak biasa. Begitu tajam. Selalu tampak merah dan bengis. Mata yang seolah memiliki taring. Mata itu yang membuatku selalu merasa takut berada di dalam ruangan tersebut.

"Kau sudah datang, jongos?"

Aku berusaha tersenyum. Lelaki kate itu baru menyadari kedatanganku. Atau berpura-pura tidak menyadari sebelumnya. Dia sedang sibuk menulis sesuatu di atas meja kerja.

"Ada sesuatu yang ingin kau laporkan hari ini?"

Aku mengangguk.

"Berita baik atau buruk?"

Aku menelan ludah. Setengah menunduk. Tanpa satu kata pun mampu terlontar.

"Sudah siap semuanya?" lelaki itu meletakkan penanya. Duduk dengan anggun di atas kursi kebesaran. Dia menatapku dengan tatapan tajam yang menusuk.

"Be,.. Belum, tuan."

"Belum?" tampak beberapa kerut langsung tercipta di dahinya setelah mendengar jawabanku.

Aku mengangguk. Cemas.

Lelaki kate memicingkan mata. Berusaha menembus batok kepalaku.

"Jadi, selama ini apa yang sudah kau kerjakan?"

"Saya sudah berusaha mencari, tetapi yang Tuan minta bukanlah hal yang mudah."

Tiba-tiba lelaki itu meraih sebuah gerabah di atas meja jati dan melempar gerabah berbentuk babi sebesar kepalan tangan lelaki dewasa tersebut ke arahku. Tepat mengenai jidat. Kurasakan benar perihnya. Bisa jadi kepalaku berdarah. Karena nyerinya tertinggal begitu lama di lapis kulit terluar dan kurasakan sesuatu mengalir mengikuti arah gravitasi. Gerabah itu langsung hancur sebelum menyentuh lantai. Sementara tanganku sama sekali tak refleks bergerak untuk meraba bekas lemparan tersebut.

"Bodoh! Berani benar kau berkata begitu!"

"Maaf, Tuan."

"Jangan minta maaf. Aku tidak butuh kata maaf!"

"Sungguh, Tuan. Saya sudah berusaha mencari kemana-mana, tetapi tidak satu nama Ibrahim pun dapat saya temukan di muka bumi ini."

"Omong kosong!"

"Bagaimana mungkin saya berani berdusta, Tuan?"

"Tidak mungkin kau tidak menemukan satu pun manusia bernama Ibrahim!"

"Tuan sudah membunuh nyaris 28,07 juta Ibrahim di muka bumi ini,"

"Lebih ratusan juta manusia yang berkeliaran di muka bumi ini, jongos!"


"Tetapi angka itu terlalu besar untuk diabaikan orang, Tuan."

"Maksudmu?"

Aku diam. Ragu untuk bicara.

"Maksudmu, Jongos?" dia mengulang kembali pertanyaannya dengan nada pelan.

Politikus KakusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang