Sarjana Pulang Kampung

1.6K 219 41
                                    

Mak Menah yang tinggal di Desa Lambur Dalam sudah berumur lebih dari 50 tahun. Tetapi, anak satu-satunya masih berusia 7 tahun. Mak Menah sudah sangat lama menikah tetapi tak kunjung jua mengandung. Hanya mukjizat Allah di usianya yang menginjak kepala empat dia baru dikaruniai anak. Bukan main bahagianya Mak Menah beserta suami. Selama anaknya belum menginjak usia satu tahun, setiap bulan dia membuat syukuran mengundang anak-anak tetangganya. Tak terasa waktu berlalu, Boy anak semata wayang Mak Menah harus dimasukkan sekolah dasar.

"Boy sudah masuk SD, aku ditegur ibu gurunya, Boy belum bisa baca tulis. Kalau mau naik kelas Boy harus bisa baca tulis. Di sekolah katanya ibu guru memberikan les tambahan. Tapi di rumah Boy juga harus belajar baca tulis." Mak Menah mendatangi warungku pagi itu dengan tergopoh-gopoh. Aku sarjana Pertanian dari kota yang baru diwisuda dua bulan lalu. Kembali ke desa, aku berwirausaha. Walaupun bapak ibu menginginkan aku jadi pegawai negeri. Tetapi aku ingin menjadi petani saja, bukankah aku disekolahkan di jurusan pertanian, tentunya aku harus jadi petani, turun ke lapangan dan bercocok tanam. Bukan jadi pegawai negeri yang duduk kerja di kantor mengetik lembaran surat. Tapi lagi-lagi, Bapak Ibu sibuk menyuruhku ikut tes CPNS.

"Sini biar aku yang mengajar Boy. Kalau pulang sekolah, suruh Boy main ke warung."

"Tapi Boy malu katanya. Katanya lagi, biar Mak saja yang belajar sama Bang Rohim, nanti ajarkan aku setelah Bang Rohim bisa mengajarkan Mak baca tulis."

Aku melongo. Pikirku kurang ajar betul Boy bersikap begitu pada Mak Menah. Tapi Mak Menah sekali lagi meyakinkanku.

"Ajarkan saja Mak, Him. Biar emak bisa mengajarkan Boy. Kasihan pula dia kalo pulang sekolah harus belajar lagi kemari. Biarlah siang dia bermain bersama teman-temannya, nanti malam biar emak yang mengajarkan dia sehabis emak belajar denganmu, Him."

"Bukannya itu jadi terkesan rumit, Mak?"

"Ah, kau ini, Him. Sudah sarjana masih juga kau polos begini. Selain Boy yang mau belajar baca tulis, emak juga mau, Him! Malu Emak tidak bisa baca tulis sudah setua ini. Pikir Emak biarlah terlambat daripada tidak sama sekali. Lagipula emak juga tidak punya banyak kerja, biarlah emak membantu warung jualan pupukmu, tak perlu engkau bayar emak ni, cukup kau ajarkan emak baca tulis sampai pintar."

Ya, pikirku tidak ada salahnya. Toh, tawaran yang saling menguntungkan. Aku juga butuh pegawai, syukur-syukur pegawai yang gratisan. Kadang aku perlu ke kota untuk membeli pupuk atau racun tanaman.

"Baiklah, Mak."

"Kapan bisa emak mulai belajar?"

"Besok."

"Kenapa tidak hari ini saja?"

Aku mengangguk ragu-ragu, "I-Iya, bisa.."

Mak Menah langsung menarik salah satu bangku di depanku. Mengeluarkan sebuah buku yang telah digulung-gulungnya dan diselipkan dibalik baju sebelumnya, tidak lupa sebatang pensil dan sebuah penghapus. Mak Menah tersenyum sangat lebar padaku.

Aku pun ikut tersenyum. Mulailah hari itu aku mengajarkan Mak Menah baca tulis.

Sudah tiga hari berturut-turut Mak Menah rutin datang ke warung. Biasanya sendiri, tetapi kali ini tidak. Dia bersama dengan Mak Timah.

"Maaf, Him. Kemarin emak cerita sama Timah, kalau engkau mengajarkan aku baca tulis. Walaupun aku baru tahu A, B, sampai C. Tapi rasanya aku bangga betul menyadarinya. Mendengar itu Timah bertanya, mungkinkah engkau menambah pegawai dengan upah diajarkan baca tulis, Him?"

Aku hanya mengangguk. Semenjak hari itu, aku punya dua pegawai sukarela.

Seminggu berjalan, Mak Menah dan Mak Timah membawa tiga orang perempuan paruh baya lain. Aku kenal mereka, Mak Sargawi, Mak Ucup, dan Mak Ogik. Dengan malu-malu mereka mendaftarkan diri menjadi pegawai di warungku dengan upah diajarkan baca tulis selayaknya Mak Menah dan Mak Timah. Aku tidak bisa menolak, karena pikirku tidak ada ruginya untukku. Bahkan sekarang aku bisa sedikit santai, karena banyak tenaga yang membantuku di warung.

Politikus KakusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang