Mulut

1.7K 217 36
                                    

Semenjak kurasakan tangan kiri ini tak lagi normal telah kuputuskan bulat-bulat untuk membungkamnya. Pertama-tama yang kulakukan setelah menyadari pengkhianatannya adalah dengan memasangkan gips tebal di tangan kiri. Ketika para kawan bertanya, kujawab saja bahwa tulangnya telah retak akibat aku tergelincir jatuh di kamar mandi.

Awalnya, tangan kiriku normal-normal saja sebelum kejadian tidak biasa beberapa hari lalu. Badanku jadi panas dingin. Kuperiksakan ke dokter, kata dokter bisa jadi aku sebentar lagi akan batuk pilek, makanya badanku jadi meriang. Tidak ada gejala-gejala penyakit berat lainnya selain badan ini terasa tidak nyaman dan suhunya berubah hangat.

Setelah merasa meriang, kemudian pada telapak tangan kiriku tersebut muncul sebuah benjolan sebesar kelereng. Bertambahnya hari jadi sebesar bola golf. Karena sangat panik kembali kudatangi dokter, kemudian dokter menduga aku menderita tumor jinak dan perlu dioperasi untuk menyingkirkannya. Kusetujui saran dokter. Tiga hari kemudian dijadwalkan untuk melakukan operasi pada benjolan tersebut.

Belum mencapai tiga hari, benjolan itu kemudian pecah. Mengalirkan nanah dan darah amis laksana air ketuban kelahiran. Dari benjolan tersebut menyeruak sebentuk mulut. Bibir manusia selayaknya bibir yang ada di kepalaku.

Bibir itu mengoek bak bayi yang keluar dari rahim ibu. Aku terkejut setengah mati. Tidak ada siapa-siapa ketika kejadian berlangsung. Aku di dalam kamar kost sendirian.

Puas mengoek. Mulut di tangan kiriku kemudian mulai bicara. Bicara meracau seperti perempuan-perempuan cerewet yang mengoceh tanpa ujung.

Di tengah kepanikan, aku berusaha tenang. Kubatalkan jadwal operasi dengan dokter langganan dengan alasan benjol itu telah sembuh dengan sendirinya. Selanjutnya kujalankan aktivitas biasa. Seperti berangkat bekerja ke kantor. Menduduki kursi di ruanganku. Menghitung uang yang mengalir dari rekening negara. Membagi-bagikan honor dan upah. Selayaknya biasa sebagai bendahara pengeluaran.

Kejadian janggal mulai kurasakan ketika atasanku datang ke ruangan. Beliau memang biasa suka bercerita berputar-putar bercampur tawa dan lelucon sebelum menyampaikan keinginannya.

"Aku butuh uang. Ucapan terima kasih buat Bapak Ketua DPRD yang telah menyetujui pengajuan dana hibah untuk kita."

Aku mendengarkan.

"Sekitar 30 juta."

"30 juta, Pak?"

"Iya."

"Dari pos mana, Pak?"

"Kau aturlah seperti biasa."

Aku diam.

"Dananya belum cukup sekarang."

"Kapan dananya ada?"

"Mungkin dua tiga hari setelah pencairan berikutnya."

Atasanku mengangguk. Beliau berdiri hendak meninggalkan ruangan. Tiba-tiba mulut di tangan kiriku berujar.

"Tukang sogok!"

Pak Sutrisno, atasanku itu menoleh dengan mata melotot ke arahku.

"Kau bicara barusan?"

Aku menggeleng. Kubungkam kuat-kuat mulut di tangan kiriku. Mulut itu berusaha meronta.

"Perut buncit!"

Tangan kananku meleset membungkam.

Pak Sutrisno semakin melotot menatap lekat ke wajahku.

"Kau jelas barusan bicara."

Aku tekan tangan kiriku sekuatnya.

"Pejabat korup!"

Bagaimana caranya membuat mulut ini berhenti meracau?

Politikus KakusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang