Curhatan ODGJ

1.3K 204 39
                                    

Sudah lama kuputuskan jadi orang gila. Biar aku ditampung di rumah sakit gila. Aku bisa makan gratis. Tidur gratis. Tidak perlu kerja. Tidak perlu tuntutan. Tidak perlu bergaul. Bersosialisasi pada tetangga. Aku bisa suka-suka. Aku bisa mau-mau saja. Aku bisa joget-joget saja. Tidak ada yang salah. Tidak ada yang tidak wajar. Semua diwajarkan.

Karena aku gila. Aku memutuskan menjadi tidak lagi waras. Aku bahagia. Sangat bahagia. Semenjak aku ditinggal selingkuh Suastri. Semenjak dia kawin lagi. Meninggalkan aku yang katanya sudah impoten. Tidak punya kemampuan birahi lagi. Tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan lahiriahnya lagi. Lebih-lebih kemudian aku tidak lagi bekerja karena di-PHK. Jadi pengangguran. Diomeli setiap bangun siang dengan Suastri. Tidak tahan aku coba cari kerja serabutan. Tetapi uang tidak juga cukup. Suastri masih suka nesu-nesu. Masih suka monyong-monyong. Masih suka hardik-hardik. Padahal Suastri semok. Wajahnya cukup menarik. Bibirnya luar biasa empuk dari martabak.

Itulah celakanya!

Siapapun laki-laki akan tidak tahan iman bila melihat bibir Suastri. Belum lagi suaranya yang suka mendesah-desah. Belum lagi pinggulnya. Belum lagi bokongnya.

Suastri, Suastri, kau buat aku patah hati. Kau tinggalkan aku sendirian. Kau lebih rela lari dengan sopir truk. Kau tidak mikir nasibmu mendatang. Kau pikir sopir truk itu para lelaki setia. Cukup satu perempuan seumur hidupnya? Tidak Suastri. Mereka hanya puas dengan kepuasan mereka sendiri. Mereka cuma melihat perempuan sebatas kebutuhan birahi, Suastri. Sadarkah kau tentang itu?

Tetapi sudahlah. Itulah masa lalu, Suastri. Karena kau pergi begitu saja di malam buta. Ketika aku sedang tertidur nyenyak di dipan kita yang kasur kapuknya sudah tipis hanya setebal dua tumpukan jari. Tapi aku selalu mensyukuri semua itu. Syukur, kita masih diwarisi rumah oleh emak bapakku. Syukur kita tidak perlu bayar listrik karena ada yang ngontrak gratis di rumah kita buka warung lontong gado-gado. Syukur aku kadang dikasih lontong atau gado-gado gratis. Tetapi kau, Suastri, kau selalu mengeluh tentang semua itu. Kau selalu merasa tidak cukup dengan apa yang kita punya. Padahal kita sudah punya segalanya. Rumah, pasangan, makan, pakaian, dan bahkan kendaraan butut. Motor bebek tahun 70-an. Bukankah itu adalah hidup mewah, Suastri? Apalagi yang kurang bagimu?

Ya, aku saja yang selalu menjawab tidak ada yang kurang dalam hidup kita. Kau tetap saja merasa semua yang kita punya itu tidak ada apa-apanya. Kau ingin berlian, kau ingin rumah mewah, kau ingin hidup gaya wanita-wanita sosialita yang sering kau lihat di media sosial, kau ingin permainan ranjang yang panas seperti adegan di web porno yang rajin kau tonton. Aku tidak bisa menjawab ketika kau mengajukan semua tuntutan itu. Aku cuma orang biasa, Suastri. Aku tidak paham teknologi. Jadi mohon maaf seribu maaf kalau aku tidak tahu bagaimana memenuhi keinginanmu sebagai ibu-ibu sosialita. Aku juga tidak pernah nonton film porno karena emak bapakku selalu mentabukan hal itu. Aku cuma dididik untuk rajin ke langgar atau masjid, Suastri. Cepat-cepat mengumandangkan azan kalau mu'azzin tidak datang. Tapi, berjalannya waktu - semenjak meninggalnya emak bapak - akupun tidak lagi membiasakan kebiasaan itu. Aku lebih mementingkan membahagiakanmu, Suastri. Agar kau tetap mencintai aku dan tinggal di rumah kita selama-lamanya. Aku tidak lagi pergi ke langgar apalagi ke masjid. Jangankan melantunkan adzan subuh. Aku malah menutup kupingku rapat-rapat dengan bantal ketika kudengar panggilan subuh berkumandang. Tetapi, dengan kepergianmu yang tiba-tiba di malam itu, aku jadi kebingungan Suastri. Aku jadi tidak tahu lagi melangkah. Aku jadi tidak paham akan pergi ke kedai arak mencarimu atau ke masjid untuk memohon pada Tuhan agar kau kembali. Aku limbung Suastri. Aku setengah gila.

Itulah awal muasal kemudian aku benar-benar memutuskan menjadi orang gila. Setelah kuhitung nyaris satu tahun tidak juga kau menampakkan diri di depan rumah kita. Aku cuma menunggumu, Suastri. Sampai mbak Yuli penjual gado-gado yang numpang jualan di rumah kita merasa kasihan. Dia mengira aku sudah gila. Bahkan sebelum aku memutuskan untuk benar-benar menjadi gila. Gila dalam keinginanku sendiri. Dia meminta izin untuk tidak lagi berjualan di rumah kita. Dia mengatakan hidup dia sudah mulai membaik. Dia sudah bisa membeli sebuah rumah tipe sangat sederhana dengan mencicil di bank. Dia akan berjualan di pasar. Karena dia sudah punya cukup modal. Dia sepertinya takut melihat keadaanku. Keadaanku yang tidak lagi peduli soal mandi, makan, dan bicara. Dia tampak iba padaku. Tetapi juga tampak ketakutan.

Aku tahu dia berhenti berjualan di rumah kita karena pelanggannya banyak yang sudah horor melihatku. Mereka sudah lama menduga aku gila sebelum aku sendiri mengakui diriku benar-benar gila. Mereka sudah menjauhi aku, semenjak kau pergi, Suastri. Semenjak aku suka berteriak-teriak keliling kompleks meneriakkan namamu. Menyuruhmu segera pulang. Menyuruhmu segera mandi. Menyuruhmu segera makan. Menyuruhmu segera tidur. Tetapi kau tidak pernah menunjukkan batang hidungmu. Orang-orang semakin ketakutan ketika aku mulai suka membawa parang berkeliling di sekitar lingkungan warga kita. Aku berteriak. Aku memaki-makimu. Aku berkoar-koar tentang dirimu.

Perempuan bedebah yang tidak tahu diuntung! Perempuan yang tidak pernah bersyukur atas karunia Tuhan! Perempuan yang pantas dilaknat di dasar neraka paling dalam! Perempuan bajingan!

Perempuan yang tidak pantas dicintai, tetapi aku mencintainya setengah mati!

Perempuan yang tidak pantas disukai, tetapi aku sudah terlalu menyukainya!

Perempuan yang tidak pantas diinginkan, tetapi aku menginginkannya dari siapapun!

Dasar kau bajingan, Suastri!

Kenapa tidak kau bunuh saja aku langsung dengan belati, katana atau pistol, biar aku langsung mati saja? Kenapa kau meracuniku dengan rindu? Ini cara mati yang terlalu lamban, pelan, dan menyakitkan, Suastri! Kenapa tidak kau sogok saja Izrail untuk langsung membetot nyawaku. Biar aku mampus. Modar. Mati seperti coro di jalan.

Maka aku akan sangat berterima kasih, Suastri. Aku tidak akan lagi menaruh dendam padamu.

Tetapi begitulah. Aku cuma ingin mati di tanganmu, Suastri. Aku tidak ingin bunuh diri. Aku takut berdosa. Soalnya emak bapak selalu mengajarkan begitu. Karena itulah. Aku tidak memilih bunuh diri. Aku memutuskan untuk menjadi orang gila. Tidak lagi waras dan tidak lagi mempunyai beban sebagai orang sosial. Aku berusaha mengabaikan diriku telah menjadi suami, Suastri. Aku manusia bebas kini. Tanpa tekanan. Tanpa aturan. Tidak ada yang mampu menyalahkan aku, karena agama pun tidak sanggup melakukan itu. Apalagi cuma sekaliber negara.

Tetapi kebahagiaan itu tidak lama, Suastri.

Kemudian aku jadi cemas. Setelah di rumah sakit jiwa. Ada televisi yang sering kami tonton bersama. Ada berita yang sering diputar perawat jaga. Tanpa sengaja aku mendengar sebuah berita yang disiarkan sebuah stasiun teve. Berita itu mengumumkan kabar bahwa Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang menurut para ahli tergolong disabilitas mental boleh mencoblos tanpa Surat Dokter. Seketika kepalaku jadi sakit. Kepala yang sudah hampir tiga tahun istirahat total kupakai berpikir jadi kena migren.

Ada apa ini? Tidak cukupkah kami para orang gila dengan permasalahan kegilaan kami? Apakah para pemimpin yang terhomat tersebut paham dengan problematika ketidakwarasan kami? Apakah mereka paham bahwa dunia mereka dan dunia kami adalah dunia yang terbagi dalam dunia-dunia yang luar biasa aneh, berlapis, bertumpuk, dan mungkin sebagian berlendir? Apakah mereka tahu tidak sembarang orang bisa masuk ke dunia yang kami buat? Jangankan tetangga bahkan kecoa pun tidak mungkin bertamu ke dunia kami, karena kami tidak punya pintu dan jendela untuk menerima tamu di dunia kami? Bagi kami persetan apapun tentang dunia kalian masing-masing. Kami untuk diri kami sendiri tidak dibagi untuk orang lain.

Jadi mohon maaf, kalau nanti ternyata ketika masuk bilik suara bukan kertas suara yang kami coblos. Si Parmin yang tergila-gila pada buah dada perempuan bisa-bisa bakal menancapkan paku coblosnya pada payudara perempuan yang ditemuinya di TPS. Atau si Mirna bakal mengunyah paku coblos itu untuk mengetes ilmu kebal yang dia punya. Atau si Joko, mohon maaf kalau kertas suara tiba-tiba tidak lagi ada di tangannya. Dia bukan tukang sulap. Tapi mohon maaf. Dia suka menyelipkan kertas di lubang anusnya. Jadi, sekali lagi. Jangan bebankan kami untuk sesuatu yang kami sendiri tidak ingin dibebankan. Kami punya imajinasi yang luar biasa kreatif di luar kemampuan para kaum kreatif memahaminya. Kami lebih seniman dari para seniman. Kami lebih brilian daripada orang jenius yang ada di muka bumi ini. Kami punya aturan sendiri di dalam otak kami masing-masing. Bahkan - sekali lagi - negara pun tidak bisa main ikut campur semaunya.

Kalau begitu, kira-kira sadarkah mereka bahwa perbuatan mereka telah melanggar HAMG?

Kami kan warga Negara ini. Kami kan punya hak untuk dihargai privasi kami sebagai orang gila. Jadi, tolong simpan saja kertas suara bagian kami. Atau musnahkan saja. Karena jangan-jangan bukan kami yang bakal mencoblos. Tetapi para perwakilan kami yang merasa-rasa telah mewakilkan suara kami.

Hidup ODGJ! Selamatkan HAMG!

Politikus KakusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang