Coblos

1.3K 187 26
                                    


Sudah lama sekali Pandir tidak mencoblos. Mungkin sudah 7 kali Pemilu dia tidak ke TPS. Itu pun tidak termasuk hitungan Pilkada. Semenjak usianya menginjak 17 tahun, Pandir memang tidak pernah berniat menggunakan hak suaranya. Padahal harga suara makin lama makin mahal. Tetapi hal itu tidak juga membuat Pandir tergiur. Banyak kawan maupun tetangga di kampung menganggap Pandir memanglah pandir. Karena Pandir selalu menolak kiriman uang yang didatangkan ke rumahnya menjelang hari pencoblosan.

Entah apa yang diharapkan Pandir dengan berlaku demikian. Banyak orang jadi penasaran. Banyak orang juga mencibir dan menganggap Pandir sok idealis. Sok paham. Sok bersih. Sok jual mahal. Tidak bersyukur atas penghargaan yang diberikan para caleg menjelang pesta demokrasi digelar. Ya seharusnya kan disyukuri saja kalau ada yang masih mau menghargai suaranya dengan uang. Daripada tidak sama sekali. Tetapi Pandir tidak peduli dengan sindiran-sindiran itu. Baginya mencoblos adalah keputusan yang akan diambilnya sendiri. Tidak perlu dipengaruhi siapapun. Hingga kini Pandir belum memutuskan untuk mencoblos. Tentu karena memang ia memiliki alasan sendiri. Alasan yang tidak pernah dia utarakan pada siapapun kecuali pada isteri tercintanya, Maimunah.

"Aku akan mencoblos kalau aku sudah menemukan pilihan yang tepat," buka Pandir suatu kali pada isterinya ketika mereka sedang menikmati sore berdua saja di teras belakang rumah mereka.

"Ya, kapan itu?"

Pandir menggeleng, "entahlah, aku merasa pilihan tepat itu tidak juga datang."

"Tetangga menilai kita terlalu bodoh menyia-nyiakan uang yang datang, bang."

"Ya, ndak papa. Daripada kita memilih orang yang salah seumur hidup kita."

Maimunah kemudian tidak lagi bertanya. Sebagai isteri yang berbakti pada suami, Maimunah menurut saja pada suami. Ketika larangan itu berlaku pada dirinya. Maka diapun dengan taat melakoni perintah itu. Diapun tidak pernah mencoblos semenjak menikah dengan Pandir.

Selama hari pencoblosan berlangsung, Pandir tetap memilih bekerja. Gajinya per hari hanya 75 ribu, tetapi kalau saja dia memilih libur maka dia bisa saja mengantongi 300 ribuan atau bahkan lebih. Ada tiga suara yang bisa dia jual, suaranya sendiri, suara ibunya dan suara istrinya. Tetapi dia kepala rumah tangga dan semua penghuni di dalam rumah tunduk padanya. Selalu seperti itu setiap pemilu berlangsung. Pandir tidak pernah tertarik ke TPS. Walaupun caleg-caleg tidak menyerah untuk terus mendatangi rumahnya menawarkan harga, Pandir selalu menolak. Pandir selalu bilang pada mereka bahwa suaranya tidak dijual, dia hanya akan memberikan suara secara sukarela pada orang yang memang pantas dia beri suara.

"Sok suci kamu, Dir!" Kata Maryam, janda beranak empat, tetangganya yang tinggal tiga rumah dari rumahnya itu bertandang menjelang tiga hari pemilihan.

"Aku ndak sok suci, Mak Maryam."

"Lalu apa namanya?"

"Lah memang salah kalau aku memilih golput?"

"Ya salah!"

"Lalu yang benarnya bagaimana?"

"Ya ikut mencoblos. Bukannya kamu punya KTP? Berarti kamu punya hak dan kewajiban untuk ikut memilih!"

Pandir menggeleng.

"Apa sih yang kamu harapkan dari pemilu?"

Pandir jadi tertawa, "semua orang sama kurasa. Pemilu kan buat memilih wakil rakyat. Tetapi aku melihat banyak calon itu tidak bisa kujadikan pilihan yang tepat!"

Maryam yang kini tertawa, "mana ada orang yang sempurna, Dir. Pilih saja yang mendekati tepat menurut kacamatamu."

Pandir tersenyum kecut.

Politikus KakusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang