Tidak

2.2K 276 30
                                    

Tanpa sengaja aku telah menelan kata "Tidak". Sehingga setiap percakapan yang membutuhkan kata tersebut membuatku mendadak gagap luar biasa. Sekuat apa pun aku memaksa untuk melontarkan dari mulut, kata itu raib. Hilang tak berbekas.

Sebagai anggota legislatif sebenarnya tidak jadi soal, karena kata tidak bukan hal yang penting dalam percakapan kami. Biasa saja. Kosa kata yang kami miliki masih sangat banyak untuk dilontarkan. Sehingga kehilangan kata tidak, tidak memberikan pengaruh, sekalipun pada saat pembicaraan berlangsung ada pernyataan tidak yang perlu diutarakan.

Sedikit pun aku tidak mencemaskan kesalahan yang telah kuperbuat tersebut. Karena aku meyakini mampu mengatasinya.

Seperti hal yang diperdebatkan baru-baru ini. Soal stocking mbok jamu yang telah meresahkan masyarakat. Khususnya ibu-ibu. Diduga, tukang jamu telah merangkap menjadi agen penjualstocking.

Lalu di mana bahayanya?

Aku sebenarnya tidak paham betul. Permasalahan itu masih samar-samar. Ada kawan yang bilang, cuma permasalahan sepele. Tidak perlu dibahas parlemen. Tetapi sebagian lain menyatakan keras, ini masalah rakyat, perlu untuk dikupas di parlemen. Bahkan ada sebagian lain menyatakan sebagai keadaan darurat. Bisa jadi jenis spionase baru yang mampu mengancam pertahanan dan keamanan nasional.

Sejujurnya aku jadi bingung. Tetapi seperti rekan-rekan yang lain, aku tidak boleh tampak bingung. Aku tidak boleh berkata, "Tidak Tahu!" Syukurnya pula, aku memang tidak memiliki lagi kata tidak.

Berlahan-lahan kutangkap cerita dari mulut ke mulut, bahwa kasus stocking tersebut berawal ketika tukang jamu mulai berinisiatif menjual jamu sekaligus stocking pada para langganan. Di luar dugaan mendapat sambutan luar biasa. Pembeli jamu tidak lagi membahas soal jamu tetapi membahas soal stocking. Omset penjualan meningkat tajam mengalahkan penjualan jamu itu sendiri.

Tukang jamu jadi naik daun. Tukang jamu jadi lebih pede jualan jamu dengan stocking. Penjualan stocking mendongkrak penjualan jamu. Langganan membludak. Kemudian bermunculan berbagai pendapat yang pro dan kontra. Pendapat ini lah yang kemudian berbunyi keras hingga ke permukaan. Disorot dan dikupas media. Lalu akhirnya menjadi perhatian para wakil rakyat.

Maka kemudian, persoalan stocking tukang jamu pun sampai di parlemen. Perdebatan berlangsung sengit. Sama seperti yang terjadi di masyarakat. Di parlemen pun terjadi perdebatan alot yang menimbulkan banyak pendapat.

Pendapat pertama, stocking tukang jamu dianggap obat pengasihan. Obat pelet nomor wahid. Sangat berbahaya dan meresahkan. Sebab, diyakini stocking tukang jamu mampu membuat laki-laki bertekut lutut dalam sekali pandang dan goyang. Lalu para isteri panik. Karena suami tidak lagi bertekut lutut di bawah daster mereka. Tetapi di bawah stocking tukang jamu. Pendapat kedua yang lebih hiperbola dan terasa terlalu meluas mengatakan, bahwa gara-gara stocking tukang jamu terjadi inflasi yang mengancam perekonomian nasional. Pendapat ketiga, kasus stocking tukang jamu bukan lah masalah besar yang mengancam stabilitas nasional dari segi keamanan maupun perekonomian, jadi segera saja di-close. Pendapat lain, yang berpihak pada tukang jamu menilai bahwa diskriminasi dan sikap menyudutkan tukang jamu dianggap melanggar HAM.

Aku mangut-mangut berusaha mencerna semuanya.

Tetapi, kukira baik juga telah menelan kata tidak sehingga aku bisa berbicara dengan mengambang dan mengawang-awang. Aku tidak berusaha condong kepada golongan khusus dengan pernyataan "Tidak" maupun golongan dengan pernyataan "Iya". Atau golongan manapun yang berdebat. Aku hanya berusaha memberi kesimpulan. Menjabarkan. Solusinya sendiri sebenarnya aku masih mengira-ngira.

Toh, kemudian, seperti jawaban yang kuberikan, kasus ini pun menjadi mengambang dan mengawang-awang. Padahal, kalau memang sudah jelas titik permasalahannya tentu seyogyanya perlu segera dituntaskan. Tetapi tidak ada yang menindaklanjuti. Semua yang berdebat kemarin bahkan sampai menggebrak meja untuk menunjukkan suara kini tutup muka. Tidur kembali. Seperti petasan di Hari Raya, bunyi awalnya saja yang menggelegar, setelahnya tidak meninggalkan apa-apa.

Tak kuduga, kehilangan kata tidak telah melatih kemampuan retorika yang kumiliki. Aku jadi pandai memilih kata-kata agar tepat disampaikan. Namaku kemudian melejit di parlemen dan media. Sering diundang jadi pembicara. Perkataanku bahkan sering dikutip. Kata mereka, pendapatku dianggap cerdas dan kongkrit.

Aku bingung juga. Padahal aku cuma berusaha ngomong agar mulut dan hati bisa sejalan dengan persediaan kata yang ada. Hanya agar orang paham dengan maksud hati yang ingin kusampaikan tanpa menggunakan kata tidak.

Entah ini sebuah mukjizat atau apa. Tanpa "Tidak", semakin banyak orang yang mulai memperhatikan keberadaanku. Bahkan kawan-kawan di partai merapatkan barisan dan mulai menggalang suara untuk mengusung sosokku menjadi calon orang nomor satu di tanah air.

Aku tersanjung.

Betapa dahsyat kata-kata tanpa kata "Tidak".

Hingga tawaran yang nyaris diimpikan rata-rata rekan sejawatku pun datang tanpa perlu diundang. Tentu kesempatan itu tidak mungkin disia-siakan. Kuasah semakin tajam kemampuan retorika. Aku tidak sungkan-sungkan belajar. Aku ingin menjadi yang terbaik. Bahkan berangsur-angsur aku mulai tidak mempedulikan keselarasan kata antara mulut dengan hati lagi. Aku hanya memikirkan keindahan kata. Bukan makna. Bagiku yang terpenting mampu menyuguhkan kampanye capres yang fantastis bahkan kalau bisa bombastis. Tentu tujuannya cuma satu, demi meraih sebuah kemenangan yang gemilang. Dan keinginan tersebut tampaknya terwujud sesuai harapan. Aku melaju melibas saingan-saingan lain yang memiliki kata "Tidak".

Aku berdiri dengan senyuman paling lebar ketika hasil penghitungan suara ditetapkan. Aku terpilih menjadi orang nomor satu di negaraku.

Duduk di singgasana termegah.

Mewujudkan impian tertinggi yang paling ingin kugapai.

Setelah pemilihan, nyaris berhari-hari masih kurasakan seruan-seruan kemenangan. Selamat mengalir deras. Aku benar-benar ditaruh di atas angin. Hingga kemudian tugas pertamaku sebagai presiden dijalankan. Menemui seorang pengusaha besar dari luar negeri yang tersohor.

"Selamat!" lelaki bule itu menjabat erat tanganku. Dia fasih sekali berbahasa Indonesia.

"Saya memang sejak awal sudah yakin dengan Saudara," katanya lagi.

"Terima kasih." Kubalas sekedarnya.

Kemudian ajudannya maju mendekati meja kami. Sebuah map dibuka lebar tepat di depan mataku. Aku mendapati rangkaian kata yang tersusun rapi di atas kertas. Bertuliskan bahasa negara si bule. Tentu saja aku paham bahasanya. Aku orang berintelektual.

"Sesuai perjanjian dengan partai Saudara, jika Saudara terpilih, biaya kampanye akan digantikan dengan pulau yang ditulis di dalam perjanjian ini."

Aku mengerutkan kening.

"Maksudnya?"

"Pulau itu resmi menjadi milik kami setelah Saudara terpilih."

"Apakah perjanjian itu pernah dilaksanakan di depan saya?"

"Tentu. Tentu saja. Saya percaya ingatan Saudara sebaik performa politik Saudara," lelaki itu memamerkan senyumannya.

"Saudara dan partai," dia menambahkan.

Aku mengingat samar-samar. Dan hatiku seketika terdetak sendiri.

"Waktu itu,..."

"Iya. Tepat sekali, waktu itu!"

"Tetapi saya,.. T...t...t.."

"Saudara tidak mungkin lupa dengan pertemuan kita yang sangat mengesankan waktu itu. Bukan kah dengan senang hati Saudara beserta partai menandatangani?"

Aku memejamkan mata.

"Kami menagih janji itu."

Untuk pertama kali. Aku menyesal telah menelan kata "Tidak".

(***)

Jambi, 21 September 2013

Tidak sudah pernah dipublikasikan di http://www.annida-online.com/tidak.html


Politikus KakusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang