PHK

174 36 0
                                    

Untuk orang kecil seperti saya, pekerjaan adalah sebuah keyakinan dan kepercayaan diri buat saya. Buat seorang pemimpin rumah tangga biasa seperti saya, menganggur adalah hilangnya kepercayaan diri dalam hidup saya. Saya tidak mampu melakukan apa-apa karena saya merasa, ketika saya menjadi bagian yang diremehkan masyarakat karena saya tidak memiliki baju yang dinamakan pekerjaan. Saya merasa dilecehkan. Diremehkan. Saya ingin berhenti mengeluh. Saya tidak ingin depresi. Saya ingin tidak peduli dengan apapun di sekeliling saya. 

Saya sering iri dengan pekerjaan orang lain terutama PNS, saya merasa iri karena tidak seberuntung mereka yang disebut PNS. Saya ingin mencemooh mereka yang berlabel PNS, dengan usaha yang tidak seberapa, dengan kerja keras yang seadanya, dengan sikap pongah akan posisi mereka yang ternyata tidak bisa apa-apa, ternyata mereka merupakan orang-orang yang kebal dari musibah PHK. Mereka yang tidak bekerja sekeras saya bekerja. Mereka yang tidak mementingkan kualitas kerja mereka karena mereka tidak punya beban terhadap tanggungjawab yang diberikan pada mereka. Mereka bisa melakukan apapun dengan bangga dan tidak merasa bersalah atas kesalahan yang mereka perbuat atas pekerjaan mereka. Saya iri kepada mereka yang dibilang aparatur negara. Seragam yang mereka sandang dengan bangga, tetapi tidak sepantas dengan kualitas mereka dalam bekerja.

Saya yakin saya punya kemampuan dibandingkan mereka, cuma saya tidak punya koneksi dan uang. Ketika saat ini pun orang mengatakan bahwa kualitas seorang PNS sudah diperhitungkan melalui ujian yang ketat dan memiliki tolak ukur. Sayang saya tidak lagi punya kemampuan bersaing mengerjakan soal-soal dengan mumpuni, saya tidak punya umur yang cukup untuk mengikuti persaingan tersebut.

Saya mengeluh untuk kenyataan bahwa, ketika saya cuma bagian dari rata-rata, saya pun tidak cukup mampu masuk dalam hitungan di atas rata-rata. Saya sudah mencoba untuk melompat lebih tinggi. Terkadang lompatan saya terasa sudah cukup dilakukan sebaik mungkin. Namun ternyata tidak satupun lompatan yang saya lakukan mampu mencapai mimpi yang saya inginkan. Saya berandai-andai menjadi PNS golongan II saja. Dengan gaji 1-2 jutaan saya tidak perlu takut kehilangan pekerjaan. Saya pasti bekerja dengan rajin dan mumpuni. Saya pasti akan ulet.

Akan tetapi kemudian ternyata saya hanya bisa berkhayal. Saat ini saya sudah tidak lagi menjadi Office Boy di sebuah perusahaan besar karena menjadi bagian dari sekian ratus pekerja yang dirumahkan. Perusahaan tempat kerja saya bangkrut. Padahal saya sudah mati-matian bekerja dan menabung. Saya takut tidak mampu memenuhi kebutuhan kami. Saya sudah hidup dengan hemat. Saya sudah hidup dengan penuh rasa syukur, pada akhirnya saya yang tidak memiliki pekerjaan. Pandangan saya nanar pada tetangga yang selalu hidup tampak berkecukupan, golongan III PNS yang selalu tampak lebih dan tidak pernah kekurangan padahal masuk kerja hanya hari senin dan rabu, selebihnya di rumah mengurusi banyak hal yang tidak penting. Saya hanya mengeluh saja karena hidup saya tidak pernah merasa lebih baik. Ah sudahlah. Saya terus muntahkan isi perut ini, saya juga masih tetap tidak punya pekerjaan.

Anak saya yang tertua sebentar lagi tamat Sekolah Dasar. Langkahnya masih terlalu panjang untuk sampai pada titik mendapatkan pekerjaan yang layak. Air mata saya jadi mengalir, mengingat bayang-bayang nasib saya mulai berubah menjadi bayang-bayang nasib anak saya. Menjalani hidup dari hari ke hari yang selalu membutuhkan biaya. Tidak ada yang gratis. Semua keperluan harus memiliki anggaran. Tidak ada kesejahteraan yang cuma-cuma. Semua butuh uang. Sementara uang tidak bisa hadir begitu saja tanpa bekerja. 

Kalau begitu, siapa yang harus saya tanyakan soal masalah yang menimpa saya? Hidup tidak bisa hanya direnungi. Eko sudah di penghujung kelas 5 SD dan Warni sudah bisa memakai pakaian sendiri serta tidak lagi ngompol di kasur. Isteri saya cuma buruh cuci serabutan mengingat tidak lagi banyak rumah yang mampu mempekerjakan buruh cuci. Beberapa dari mereka memilih untuk mencuci sendiri, karena mereka juga sudah di-PHK. Mereka tidak punya biaya untuk membayar buruh cuci.

Saya melihat jembatan yang biasa saya lintasi dari tempat kerja menuju ke rumah. Saya berhenti. Saya parkir motor butut saya agak jauh dari jembatan. Di bawah sebuah pohon rindang tempat tambal ban yang sedang tutup.  Saya mengendap-endap menuju jembatan. Saya pikir mungkin saya bisa saja mengakhiri hidup saya agar semua masalah selesai. Bibir saya bergetar, antara rasa takut dan putus asa. Saya telah berhasil sampai di jembatan dan menggengam erat pegangan jembatan. Saya menghela napas sambil memejam mata dan hendak membuka sepatu kerja yang biasa saya kenakan sebagai Office Boy.

"Maaak!"

Suara itu muncul dari bawah jembatan. Suara yang biasa saya dengar.

"Mak, Eko mohon jangan..., kasihanilah Eko dan Warni, Mak. Siapa yang akan mengurus kami kalau emak mati. Lihat mak, tidak ada orang yang peduli emak di sini. Tidak ada tetangga yang datang, tidak ada orang lewat berhenti. Tidak ada orang yang mau tahu kalau emak mau bunuh diri. Bagaimana kalau emak mati, apa ada orang yang mau peduli pada Eko dan Warni? Sedangkan emak mau bunuh diri saja mereka tidak mau tahu." suara Eko bergetar membujuk ibunya.

"Emak, bagi Eko dan Warni Emak dan Bapak tidak sebanding dengan uang. Eko rela tidak punya uang dibandingkan tidak punya Emak dan Bapak. Eko sanggup puasa, Eko sanggup ke sekolah berjalan kaki. Eko sanggup tidur di lantai tanpa kasur. Eko sanggup melakukan semuanya asal ada Emak dan Bapak."

Saya menelan ludah. Saya lihat isteri saya yang berdiri di tepi jembatan menoleh ke arah Eko yang mendekap Warni. Perempuan baik itu langsung mendekap kedua anaknya erat-erat. Dia menangis sesegukan. Eko mengelus punggungnya dengan lembut. 

"Kita pulang ya, mak. Eko pasti bisa cari kerja. Kita pasti bisa hidup."

Isteri saya mengangguk. Dia menciumi anaknya satu per satu. Dengan langkah lunglai dia membimbing kedua buah hatinya naik ke arah jalan yang menjauhi tebing jembatan. Mereka jelas kembali ke rumah.   

Saya dengan malu-malu, juga ikut memperbaiki posisi sepatu yang sempat hendak dilepas. Saya kembali ke sepeda motor butut saya dan mulai menyadari bahwa PHK mungkin memang sebuah bencana besar buat orang kecil seperti kami. Akan tetapi, setelah menyadari bahwa saya masih mempunyai seorang isteri yang sangat baik, dua orang anak yang sangat hebat, sebuah sepeda motor butut yang bertahun-tahun terus setia menemani saya dari bujang hingga sekarang dan sebuah rumah kontrakan yang harganya sangat miring di tengah kota. Saya kemudian mulai bersyukur. PHK tidak akan membunuh orang kecil seperti kami, karena sejak lama kesusahan itu tidak saja bernama PHK untuk kami. Jadi, saya pikir saya harus pulang ke rumah dengan kepala tegak dan langkah riang untuk Eko dan Warni serta perempuan yang sangat saya cintai itu. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 14, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Politikus KakusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang