Babak Baru di Montreal │Chapter 1 - Dunia Yang Bulat

113 4 2
                                    

Montreal, Kanada

Dunia ini bulat. Ya, bundar. Lingkaran. Berputar. Kuhela nafas, sebenarnya aku sedang bosan. Hanya saja aku tidak terlalu memperlihatkannya.

Hari ini kelas kami sedang membahas tentang reruntuhan bangunan seni di Roma, Italia. Aku sedang menempuh pendidikan dalam bidang Historical Arts. Kami mempelajari tentang seberapa besar pengaruh peradaban manusia bagi karya seni yang dihasilkan di masa itu, kami juga mempelajari tentang bagaimana pola pikir yang terbentuk di masa itu sehingga dapat memberikan pengaruh pada gaya arsitektur, guratan guratan seni sampai pada seberapa sentimentil sang pencipta karya seni tersebut dalam menuangkan segenap perasaannya pada karya yang dihasilkan.

Aku termenung membayangkan betapa waktu merupakan penghancur sejati, karena menurut penjelasan Dosenku, sebagian besar mahakarya seni di Roma runtuh oleh waktu. Waktu memang mampu menghancurkan apapun termasuk bangunan terkuat dan termegah sekalipun.

Waktu juga mampu menghancurkan peradaban manusia. Waktu..sangat kuat..

"Allons à la cantine!". Abreana, sahabatku tiba-tiba datang dan menepuk pundakku. Gadis Perancis dengan senyuman hangat, sehangat teh tanpa gula yang aku racik sendiri di apartement siswa yang letaknya tak jauh dari kampusku.

Aku menatapnya dan berkata, "Okay allons-y!". Kami pun berjalan beriringan di koridor kampus. Tampak olehku Mustafa, mahasiswa yang juga berasal dari Indonesia, ia adalah teman baikku. "Selamat Siang, Ayu", sapanya ramah. "Halo", balasku. "Ayo ke kantin".

Ia menggelengkan kepalanya pelan, lalu tersenyum sambil tangannya menjulur menunjukkan sikap tubuh "silahkan" dengan posisi badan sedikit membungkuk. Abreana tertawa melihatnya, "Il est charmant, he is charming, huh?", ujarnya padaku sambil menyibakkan rambut brunettenya yang coklat kemerahan dan sangat lembut.

Aku memutar mata, "Oh come on..", ujarku. "Je parie que vous épouserez un Indonésien! Tu sais, je n'épouserai jamais un français! Je veux avoir du sang différent dans mon arbre généalogique!", Abreana mengoceh dengan semangat. Kurang lebih yang ia katakan adalah, ia berani bertaruh bahwa aku pasti akan menikahi pria sebangsaku, ia juga mengatakan kalau dia jadi aku, ia tidak akan mau menikah dengan laki-laki Perancis, karena ia menginginkan ada variasi keturunan dalam keluarganya. Lucu sekali. Jadi maksudnya adalah, aku pasti akan menikah dengan Mustafa?

Sudahlah, kadang aku merasa lelah karena aku harus belajar begitu banyak hal disini. Selain belajar bahasa perancis, yang tercerna amat sangat lambat dalam otakku. Meski aku telah ikut kursus tambahan selepas jam kuliah, namun tetap saja bahasa Perancisku amat sangat payah.

"What do you get?", tanya Abreana sembari mencocol sobekan baguette dalam saus mayonnaise yang ditaburi dedaunan. Aku tak pernah suka makan roti. Aku rindu masakan Cing Wati. "Tu as mauvaise mine aujourd'hui", Abreana menatapku lekat. Ia berkata bahwa aku terlihat tidak begitu baik hari ini.

"The dream..", ujarku pelan sambil menyendok sup kental beraroma jagung. Tenggorokanku terasa panas. Terbakar. Sayup-sayup kudengar suara teriakan yang amat sering menggema di kepalaku..suara itu..suara wanita... "Toloongggg!!!!!!! tolonggg!!!!!!!!!anak gue keluar Mpok!!!!!!!!!! Mpok tolong Mpok!!!!!!! Banyak darahnye Mpok!!!! Aye takut Mpok!!!!!

Boo! Helena, temanku yang lain datang mengagetkanku. "OMG!", aku mendengus kesal. Abreana memarahi Helena dalam bahasa Perancis yang amat sulit aku pahami tapi setidaknya dari nadanya aku tahu bahwa dia memang sedang marah.

"Hey..what happened?", tanya Helena. Aku hanya tersenyum. "Nothing", jawabku. Tapi Abreana tak pernah memalingkan wajahnya dari wajahku hingga aku salah tingkah dibuatnya. Aku melototkan mataku padanya sebagai pertanda bahwa ia harus berhenti mengawasiku.

BABAK BARU DI MONTREALWhere stories live. Discover now