Babak Baru di Montreal │Chapter 11 - Dunia Tak Seindah Bayangan

18 1 0
                                    

Montreal, Kanada

Aku berlari kencang menuju asrama, wajahku panas, amarahku mendidih. Bisa - bisanya Ayu melakukan ini padaku! Salah apa aku padanya! Kenapa dia tak mengerti bahwa aku begitu menyukainya! Aku berhenti sejenak, jalanan mulai sepi. Aku mulai melambatkan langkahku. Terlempar aku pada ingatan setahun yang lalu, saat untuk pertama kali aku menjejakkan kaki dari Indonesia ke Kanada. Waktu itu aku baru lulus SMA.

Ayahku yang biasa aku panggil Buya, menanyakan padaku apa aku mau sekolah ke luar negeri. Aku pun menurut saja, meski awalnya aku sempat ragu, apakah biayanya tidak mahal? Memang travel yang dikelola Buya untuk memberangkatkan orang yang ingin naik haji berkembang pesat setelah sebelumnya Buya gagal menjadi pengusaha kain tapi kami masih punya Suhail, adikku yang waktu itu baru kelas 1 SMP. Apa dia tidak butuh biaya juga?

Tapi Buya menenangkanku, dia berkata aku bisa memanfaatkan program beasiswa, kebetulan ia ada kenalan penyalur mahasiswa Indonesia ke luar negeri, dan dari informasi yang ia dapat, ada satu universitas di Montreal yang membuka program beasiswa jurusan hukum.

Kata Buya kemungkinan aku bisa lolos cukup besar, karena universitas itu memang sedang mengembangkan jaringan di asia pasifik. Aku membaca segala persyaratan dengan seksama, dari informasi yang aku baca Kanada memang sedang membuka pintu selebar - lebarnya bagi imigran atau orang - orang yang berasal dari luar negeri untuk menuntut ilmu, bekerja atau menetap disana. Lagipula tak ada salahnya mencoba. Aku pun mempersiapkan berkas - berkas yang dibutuhkan dan mendaftar melalui pendaftaran online.

Selain di McGill University aku juga mencoba untuk mendaftar di University of Calgary, University of Manitoba dan University of Waterloo.

Dan hampir tiga bulan aku menunggu, aku sudah hampir putus asa dan memutuskan untuk mendaftar di Untar, Universitas Tarumanegara tapi kata Buya aku harus sabar dan selalu memohon kepada Allah SWT agar beasiswaku dikabulkan.

Ibuku yang biasa kupanggil Muya juga selalu memberikan semangat. Aku juga sering memergokinya melaksanakan ibadah shalat di tengah malam. Sebegitu besar semangat yang diberikan keluargaku, hanya Suhail, adikku yang tidak suka aku kuliah ke luar negeri, ia mengatakan jika aku pergi jauh, dia pasti akan merasa amat kesepian.

Aku pernah meninggalkannya untuk menuntut ilmu di pondok pesantren di Tangerang Selatan, itu saja dia hampir setiap hari mengunjungiku! Aku benar - benar menyayangi Suhail, tapi demi mimpiku untuk meraih kehidupan yang lebih baik, aku harus bisa merelakan perpisahan yang sementara ini.

"Ealayk 'an takun 'afdal min Buya", begitu Buya sering menasehatiku. Ia berkata bahwa aku harus menjadi lebih baik darinya. Keluarga kami memang memiliki garis keturunan Turki dari Kakek Buya, tapi menurut cerita Buya dan paman - pamanku kakek dan nenek mereka tinggal di Saudi Arabia.

Kemudian mengembangkan usaha dagang hingga ke Singapura, lalu ke Brunai dan terakhir ke Indonesia. Anak dari kakek Buya, yang berarti adalah kakekku menetap di Pontianak dalam waktu yang cukup lama. Beliau memiliki 12 anak yang semuanya adalah laki - laki!, Buya ku adalah anak terakhir.

Beliau memutuskan untuk menetap di Jakarta untuk merintis usaha perdagangan kain. Paman - pamanku yang lain tinggal di seluruh pelosok Indonesia. Ada yang tinggal di Riau, di Bali, di Malang, tapi yang tinggal di luar negeri juga ada, Paman Rasyid, beliau menetap di Kuala lumpur. Tapi aku adalah Warga Negara Indonesia. Aku punya KTP dan Paspor Indonesia karena dari kakekku memang sudah resmi menjadi WNI.

Aku pun fasih berbahasa Indonesia, bahasa betawi juga karena aku tumbuh besar di lingkungan anak Jakarte. Tapi bahasa sehari - hari di rumahku adalah bahasa arab. Buya bercerita bahwa dulu sewaktu di Pontianak, beliau bahkan tidak bisa berbicara bahasa Indonesia. Baru setelah masuk sekolah menengah pertama, beliau mulai fasih bicara bahasa Indonesia. Muya ku juga seorang keturunan arab. Namanya adalah Watsiqah.

BABAK BARU DI MONTREALWhere stories live. Discover now