Babak Baru di Montreal │Chapter 6 - Dunia Penuh Harapan

31 1 0
                                    

Semarang, Indonesia

Aku baru tiba di Bandara Jenderal Ahmad Yani, hari sudah mendekati sore. Aku segera menghubungi Mbak Nani, kakak iparku. Mereka bilang mereka akan menjemputku. Sudah begitu lama aku tidak datang ke Semarang mengunjungi ke enam kakakku!

Dan hari ini, mumpung David sedang ada urusan pekerjaan ke Singapura dan Ayu sedang menikmati perjalanan studi bandingnya ke Turki, aku bisa menikmati hari - hariku mengunjungi saudara - saudaraku disini. Teleponku berdering, aku pikir Mbak Nani tapi ternyata telepon itu dari David.

"Halo", jawabku sambil menunggu koperku keluar dari ruang bagasi. "Hello there! where are you baby?", David selalu berkata mesra kepadaku, membuatku merasa amat sangat diinginkan sebagai wanita. Sambil tersenyum aku menjawab pertanyaannya, "Just landed", akhirnya koperku keluar, aku segera mengambilnya dengan telepon masih menempel di telingaku.

"Have you called Ayu? How is she?", David tidak pernah lupa menanyakan Ayu. Aku menjawab bahwa aku belum bisa menghubungi Ayu dari kemarin, mungkin sinyal disana tidak begitu bagus, tapi aku sudah memintanya untuk menghubungiku bila ia sudah tersambung dengan koneksi sinyal yang bagus.

Tak lupa aku juga menagih janjinya untuk mengunjungi Ayu ke Montreal setelah urusannya di Singapura selesai. Ia mengiyakan permintaanku dan ia juga menitipkan salam untuk semua keluarga besarku di Semarang.

Aku menuju pintu keluar bandara dan suaraku melengking nyaring saat kulihat Mbak Nani beserta Mas Darto kakak ku yang ketiga menjemputku ke Bandara. Aku langsung memeluk mereka karena memang sudah sekian lama kami tidak bertemu.

"Piye kabare Nami...Wah, wis suwe ora ketemu ki. Kangen rasane", Mas Darto berbicara dalam bahasa Jawa aku hanya manggut manggut tanpa bisa membalasnya.

Maklumlah, aku kan besar di Jakarta, bahasa pergaulanku bahasa betawi, lagipula Pak De tidak pernah mengajakku bicara bahasa Jawa. Pak De selama menjadi tentara bertugas di Manokwari, ia justru lebih fasih berbicara bahasa Borai dibanding bahasa Jawa, bahasa Indonesianya pun memiliki dialek yang khas.

Aku menahan nafas mengenang mendiang Pak De ku, sudahlah..aku tidak boleh terus menerus mengenang kepahitan itu dalam hidupku.\

"Lha kok ngajakin ngomong jowo to Pak? Nami ini kan anak Jakarte..ya to ya?", Mbak Nani menggodaku. Kami tertawa dalam perjalanan menuju rumah Mas Eko, kakak pertamaku. Mereka bilang semua sudah berkumpul disana, karena Mas Eko menempati rumah keluarga besar kami yang juga berukuran paling besar sehingga cukup untuk menampung seluruh keluarga kami di Semarang.

"Mana toh, bojomu sing Bule iku?", kembali Mas Darto menanyaiku dalam bahasa Jawa. "Dia sedang ada urusan Mas, ke Singapura", jawabku. "Hebat kamu Mi, dapet bojo bule, kaya raya lagi". Aku sebenarnya kurang begitu suka dengan ucapan Mas Darto itu.

Aku menerima pinangan David bukan karena dia kaya raya, aku malah tidak tahu kalau dia kaya raya saat kami berkenalan hingga merajut kasih di Pulau Dewata, Bali.

Saat itu ia hanyalah seorang turis luntang lantung dan aku bekerja sebagai seorang pegawai spa therapist. Jarak dari bandara menuju rumah Mas Eko lumayan jauh, aku lebih memilih untuk memejamkan mataku agar tak ditanya ini itu oleh kakakku.

Sebenarnya aku malas sekali untuk mengunjungi mereka, karena selain aku juga mesti meluangkan waktu yang panjang, aku juga harus berbelanja oleh-oleh yang lumayan banyak agar cukup dbagikan pada semua kerabatku disini.

Selain itu mereka baru mau menemuiku setelah tahu aku dinikahi bule kaya raya, coba saja sebelumnya disaat aku hidup melarat bersama Ayu anakku, tak ada satupun dari mereka yang menampakkan batang hidungnya.

BABAK BARU DI MONTREALWhere stories live. Discover now