5 | kelon

47.7K 7K 3.6K
                                    

Namanya hidup, pasti berproses.

Hidup nggak akan selamanya disitu-situ saja, mesti ada yang berubah dan berganti, mau itu ke kondisi yang lebih buruk atau ke kondisi yang lebih baik. Ada orang-orang yang datang dan pergi. Terus perubahan-perubahan yang sebagian diantaranya pasti drastis banget. Kayak... hidup saat masa kuliah tentu nggak akan sama dengan hidup setelah selesai kuliah.

Ketika masih kuliah, persoalan terberat dalam hidup bagi kebanyakan orang ya paling ngejar deadline pengumpulan tugas, apalagi kalau tugasnya susah dan dosennya killer. Sudah nggak mengherankan kalau diisi bukan hanya dengan keluhan, melainkan juga air mata. Nggak peduli cewek atau cowok, sama saja. Pasti ada masa-masa yang bikin seseorang merasa down, bodoh banget hingga salah jurusan ketika masih kuliah.

Sebagian lainnya yang kurang beruntung, bisa jadi, harus rela punya beban pikiran ekstra, seperti bagaimana caranya bayar uang semesteran atau bagaimana mestinya mereka bertahan hidup ketika orang tua terlambat mengirim uang ulanan.

Tapi saat sudah lulus, seolah menghayati kata pepatah "welcome to the jungle", segalanya nggak lagi sesederhana itu. Tanggung jawab kian berjubel. Tuntutan semakin banyak, entah itu dari keluarga, dari rekan sebaya atau dari lingkungan pekerjaan. Rasanya, ekspektasi orang-orang sekitar jauh lebih tinggi dari sampai mana tangan bisa meraih.

Ujung-ujungnya stress sendiri, lalu jadi orang dewasa yang worn-out dan mentally exhausted karena keadaan.

Di sisi lain, ingin istirahat, tapi di saat yang sama, ada kekhawatiran akan missing out. Hidup memang bukan lomba, tapi sulit banget nggak sih untuk berpikir begitu, terutama ketika lo melihat orang-orang di sekeliling lo, teman-teman yang pernah satu fase dengan lo kini sudah berada di fase yang berbeda lebih dulu.

Kayak, they're living their lives just fine, and it feels like you're the one struggling here.

Makanya, saat ada yang bilang kalau jadi orang dewasa itu berarti jadi orang yang kesepian, Wirya sepenuhnya setuju.

Seenggaknya, ketika masih kuliah, mau sesibuk apa pun dia mengerjakan tugas, selalu ada waktu untuk hang out atau nongkrong nggak jelas sambil mentertawakan sulitnya tugas bareng teman-teman sesama kacung dosen. Di dunia setelah kuliah? Belum tentu. Malah yang ada, groupchat yang dulunya ramai banget mendadak sepi kayak kota mati.

Semua terlalu sibuk menggapai puncak mereka sendiri.

Atau hidup kayak template, dimulai dari lulus kuliah, kemudian bekerja di perusahaan bergengsi dengan standar gaji setidaknya dua digit, terus setelah mapan, menikah dengan orang yang dicintai, punya anak maksimal dua orang, kalau bisa cewek dan cowok, terus membesarkan anak, perlahan menua, berganti di rumah saja dan penutupnya; mati.

Dulu, Wirya suka berpikir, dia nggak mau hidup berdasarkan template kayak gitu.

Tapi sekarang, dia justru iri dengan mereka yang bisa hidup sesuai template itu.

Wirya masih melamun, sedang berada dalam taksi yang bergerak melintasi Orchard Rd. ketika ponselnya bergetar. Wirya mengeceknya. Ternyata ada broadcast WhatsApp dari Jenar. Isinya adalah foto bayi yang baru lahir—jelas sekali, itu anaknya Jenar. Lesung pipinya terwariskan dengan sempurna pada bayi itu. Di bawahnya, ada serentetan kata yang intinya ngabarin kalau Jenar sudah resmi jadi ayah.

Tau nggak, pada situasi kayak gini, Wirya tersadar kalau waktu tak pernah berhenti—meski segalanya kerasa kayak sudah membeku buat dia.

Wirya menghela napas, meminta supirnya untuk mengemudikannya ke ION Orchard. Dia sekalian mengabari asistennya kalau dia bakal datang terlambat. Mereka sudah janjian mau meeting dengan seseorang di Imperial Treasure.

A Bunch of Daddy ✅Where stories live. Discover now