70 | closure

29K 4.7K 2K
                                    

"Kalau lo mau ditemenin, gue bisa stay di kafenya kok, Shan. Paling beda meja aja."

"... gue kelihatan segugup itu ya?"

"Nggak juga." Jaka mengusap pundak Rossa, seperti ingin menenangkan perempuan itu. "Cuma... you look... a bit uneasy. Don't worry. Orang yang bakal lo temuin kan Wirya. Bukan orang lain."

Justru karena dia bukan orang lain, Rossa berpikir.

"Wirya kan baik. Gue yakin, dia nggak akan nyakitin lo."

"Iya. Gue tau." Rossa mengembuskan napas perlahan. "Kebalikannya, malah gue yang sering nyakitin dia."

"Kalau gitu, kenapa dari semua orang, lo memilih nggak kirim undangan ke dia?"

"Itu..."

Rossa tak bisa menjawab pertanyaan Jaka.

Setidaknya, nggak di saat itu juga.

Dia paham, undangan digital yang dia sebar bersama Jaka telah menuai reaksi kaget dari mayoritas teman-teman mereka—meski jelas nggak semengejutkan berita pernikahan Jella sama Tigra yang nggak pernah ngasih spoiler maupun tampil berdua di depan publik sebelum rencana pernikahan mereka diumumkan.

Sebenarnya sih, dia sama Jaka memang nggak meniatkan "menyusul" Milan dan Sakura secepat ini.

Tentu, hari di mana mereka datang menghadiri acara resepsi pernikahan Milan dan Sakura ditutup dengan sangat menyenangkan. Rossa menginap di rumahnya Jaka. Nggak, mereka nggak melakukan apa pun yang kira-kira bisa dikategorikan ke dalam tanda kutip. Dibanding dari bagaimana dia semasa kuliah, Jaka yang sekarang tampaknya telah jauh lebih "konservatif".

Rossa sempat meledeknya ketika itu. "Jadi... lo beneran udah tobat?"

"Maksudnya?"

Jaka bertanya seraya mengulurkan cangkir berisi teh rosella yang dibuatkannya untuk Rossa. Di luar, malam telah merambat menuju larut. Suasana sepi. Sesekali, terdengar bunyi rumpun mawar yang saling bergesekan karena ditiup angin.

"Gue kira lo... masih bebas banget kayak ketika jaman kuliah."

"Emang waktu kuliah, menurut lo, gue sebebas itu?"

"I don't know, kadang gue ngerasa vibes lo sama Jenar itu setipe tau." Rossa mengangkat bahu.

"Shan," Jaka mengerang. "Gue bukan tandingan Jenar. Mantannya dia mah banyak."

"Oh ya. Dia buaya senior. Lo buaya junior."

Jaka tertawa geli. "Mungkin begitu. Meski di mata gue, Jenar tuh nggak benar-benar bisa dibilang buaya."

"Hm?"

"Dia bukan predator. Dia cuma tidur sama cewek yang lagi jadi pacarnya aja. In short, dia cuma ngapa-ngapain sama orang yang memang dia sayang."

"Tau dari mana?"

Jaka menyeringai. "Oh, cowok-cowok biasanya sangat terbuka antar sesama cowok. Apalagi soal yang begituan. Obrolan tongkrongan cowok nggak jarang adalah tipe obrolan yang bisa bikin kuping cewek merah, tau nggak?"

"Oh..."

"However, Jenar bukan cowok yang—let's say, suka ngomongin cewek-ceweknya as if mereka objek. Kayak, ada beberapa cowok yang suka terlalu santai ngomongin sesuatu yang bersifat sangat personal bagi ceweknya di depan teman-temannya dengan santai. Jenar nggak begitu, sejauh yang gue ingat."

"Gimana dengan lo?"

"Hm?"

"Gimana dengan lo sendiri?"

A Bunch of Daddy ✅Where stories live. Discover now