65 | dibajak ya?

27.5K 4.7K 1.9K
                                    

Jenar tahu, perlu keberanian yang cukup besar buat Rei untuk memutuskan menghubungi ayahnya lebih dulu. Laki-laki itu, bagaimana pun, sudah menorehkan trauma yang nggak akan pernah Rei lupakan. Jenar masih ingat, seperti apa sikap Rei di awal mereka mengenal, seluruh insecurity dan rasa nggak percayanya, juga ketakutan yang diam-diam dia simpan, bahwa suatu hari nanti, dia mungkin saja kembali sendirian.

Makanya, Jenar tetap berada di dekat Rei.

Waktu Rei terlonjak kaget karena chatnya dibalas dengan telepon, Jenar meremas pundak perempuan itu pelan, memberikan semangat untuk menguatkan.

Telepon itu adalah telepon paling kaku yang pernah Rei lakukan.

Ada banyak jeda, juga hening.

Jenar tetap diam, meski salah satu tangannya tak berhenti mengusap punggung Rei. Teleponnya singkat saja. Intinya, mereka berencana ketemu di hari Senin. Tempatnya terserah Rei untuk menentukan. Rei setuju. Terus begitulah, teleponnya selesai.

"Gimana?"

"Dia... ngajak ketemu. Tempatnya terserah aku."

"Kapan?"

"Hari Senin. Mungkin pagi, sekitar jam sepuluh atau jam sebelas."

"It's okay, Sayang." Jenar menenangkan, masih mengusap punggung Rei. "It's okay. Kamu udah sangat berjiwa besar, sangat berani karena mau ketemu sama dia. Jangan takut ya? Aku bakal selalu ada untuk support kamu. Untuk jagain kamu."

Rei menatap Jenar, lalu mengangguk.

Dia nggak lagi perlu diyakinkan untuk bisa percaya.

Malam harinya, Rei nggak bisa tidur. Mungkin karena dia terlalu gelisah, terpikirkan pertemuannya dengan ayahnya di hari Senin nanti. Atau karena benaknya terlalu aktif bekerja. Jenar ikut-ikutan terjaga. Lelaki itu menyalakan lampu besar yang bikin kamar terang benderang, terus beranjak dari kasur untuk membuka salah satu laci yang berada di bawah ranjang mereka.

Waktu dia kembali naik ke kasur, ada sebuah album foto di tangannya.

Rei mengenali album itu.

Album foto itu memuat foto-foto pernikahan mereka, mulai dari foto pre-wedding yang lalu ditutup dengan foto mereka berdua bareng Wuje yang baru lahir; Rei duduk di sofa rumah sakit dengan Wuje berada di gendongannya, dan Jenar berada di sampingnya. Mereka sama-sama tersenyum ke kamera.

Dalam sekejap, mereka sudah sibuk melihat-lihat foto-foto dalam album tersebut.

"Cantik." Jenar tersenyum ketika mereka tiba pada halaman yang memuat foto-foto solo Rei. Fokus utama dari bidikan kamera dalam foto-foto itu, tentu saja adalah si pengantin perempuan. Buket bunga yang terpegang di tangannya. Sosoknya dalam balutan gaun pengantin dan wedding veil. Sepatu indah. Jemari cantik dengan kuku yang dihias. "And you smiled a lot."

"Hari itu masih jadi hari paling bahagia nomor dua buatku."

"Hari paling bahagia nomor satunya apa?"

"Waktu Arga lahir ke dunia."

"Oh, oke. Tadinya aku tebak, hari paling bahagia nomor satu tuh hari di mana kita ngobrol buat pertama kalinya. Tapi ternyata, masih dipegang Arga. Harusnya aku udah bisa nebak."

Rei menyentuh pipi Jenar dengan telapak tangan sambil tertawa. "Tolong jangan cemburu sama anak sendiri."

Jenar manyun. "Kalau kayak gini, aku tuh suka kepikiran kepingin punya anak perempuan."

"Hm?"

"Biar kamu tau, gimana rasanya diduain sama anaknya sendiri."

Rei tertawa lagi, kali ini seraya menarik tangannya dan ganti menyandarkan kepala ke bahu Jenar. Tangan Jenar bergerak, membalik halaman album fotonya.

A Bunch of Daddy ✅Where stories live. Discover now