4. Penasaran

482 101 27
                                    

Voment ya^^

Suasana di area meja makan keluarga Farhan sedang ramai Rabu pagi ini. Dari empat kursi, tersisa satu kursi kosong karena pemiliknya memilih duduk di meja dapur sembari menikmati roti bakar selai kacangnya seorang diri. Selagi orang tua dan kakaknya berbicara serius, Janetha hanya diam menyimak dalam diam enggan menimpal atau ikut campur.

"Makanya aku bilang sekarang biar Sabtu besok, Mami sama Papi bisa kosongin agenda kerjaan, kongkow gaje, atau apapun itu."

Suara final dari Jarel mengundang kerlingan Janetha dari tempatnya. Perempuan itu bisa melihat bahwa sang kakak tengah menyelipkan sebuah permohonan dari tatapannya yang setengah kesal.

"Masa buat pergi sama temen ke arisan aja Mami gak ribet, ini aku yang mau seriusin anak orang gak bisa diluangin sih, Mi?" Jarel menoleh pada Sandra sang ibu dan beralih pada Farhan sang ayah, "Pi, aku beneran serius sama Kanina. Aku gak mau nunda lagi, umur kita udah cukup."

"Umur matang aja gak cukup lho, Ja."

"Statusku di Radio juga udah tetap, Pi. Itu kalau tentang finansial yang Papi maksud." Jelas Jarel yakin, "Kanina juga udah setuju kalau kita tinggal di apartemenku dulu."

"Masa absen ngegolf sehari aja gak mau demi aku? Kebangetan banget." Lanjut Jarel yang sontak mendapat atensi dari tiga pasang mata lainnya.

Janetha bisa melihat rasa kecewa itu terucap dari sirat yang Jarel tunjukan kepada kedua orang tua mereka. Ini salah satu yang membuatnya tidak nyaman jika ada kedua orang tuanya di rumah. Suasana sekelilingnya menjadi suram dan menyebalkan.

Mungkin terdengar kurang ajar, tapi benar begitu yang Janetha rasakan. Entah sejak kapan perasaan itu ada, Janetha hanya merasa bahwa presensi kedua orang tuanya yang nyaris selalu kosong membuatnya terbiasa hingga akhirnya, saat ada pun membuatnya tidak nampak nyata di mata Janetha.

Hatinya sudah biasa sepi dan dilapisi rasa kecewa yang menebal. Baginya akan sangat lebih baik jika dia sendirian dibanding harus melihat rumah ramai tapi berhasil membuat otaknya semakin frustasi.

"Gue aja yang ikut bisa gak, Bang?" Tanya Janetha tanpa menatap Jarel, "Mewakili."

Jarel mendongak pada Janetha. Dia hampir lupa adiknya ada disana.

"Percuma lo mohon gitu. Kayak serumah baru kemarin aja."

"Tha." Panggil Sandra menegur.

"Ya daripada masa depan Abang lewat? Mami kira kalau kak Kanin pergi masih ada yang mau sama Abang?"

"Kampret!"

"Kalau Abang jadi perjaka tua karena nurutin ego Mami sama Papi yang gak mau luangin waktu beberapa jam doang buat lamarin Kak Kanin demi temen-temen hedon kalian, siapa yang malu besok? Mami Papi juga kan? Ya itu sih kalau kalian gak perduli perasaan Abang."

Mulut Jarel terlipat melihat bungkamnya kedua orang tuanya karena perkataan Janetha barusan. Meski dengan serampangan, Jarel menyadari bahwa Janetha yang tengah meminum jus apelnya itu mencoba menyindir kedua orang tua mereka.

Janetha berdiri untuk meletakan piring bekas pakainya di westafel.

"Ya udah, sore kan, Ja?"

Jarel melotot lalu mengangguki pertanyaan ayahnya. Disana Janetha mengulum senyum sembari merapikan beberapa buku paket dan bindernya.

"Iya, Pi. Nanti aku bilang ke Kanina jadi Sore. Urusan bawaan aku aja yang siapin. Mami sama Papi tinggal dateng ikut aku."

"Kamu beneran serius kan mau nikah? Dipikirin baik-baik lho, Ja. Jangan bikin Mami sama Papi malu."

Cover - CompleteWhere stories live. Discover now