19. Gigih

185 50 7
                                    

Voment ya^^

Sudah dua hari Janetha tidak menerima panggilan dari Byantara. Pesan dari pria itupun sama sekali tidak ditanggapi dan hanya sebatas di baca saja. Terakhir kali Janetha mendengar suara Byantara adalah setelah dosen sekaligus tetangganya itu mengucapkan kata rindu.

Ya, memang sudah bisa ditebak kenapa Janetha memilih abai. Sebab, ada yang dirasa tidak benar di dalam hatinya. Sepercik buncah kebahagiaan merayapi seluruh tubuhnya saat kalimat pengakuan itu mampir di telinganya. Tapi di sudut hatinya yang entah tepatnya dimana, Janetha merasa luka.

Dia gagal teguh pada pendiriannya. Sosok Byantara mulai mengambil alih rasa kuat yang selama ini Janetha pupuk untuk melindungi diri. Inilah yang Janetha takutkan sejak awal. Saat jatuh cinta seharusnya membuatnya merasa bahagia, dia justru dihantui ketakutan teramat besar. Ketakutannya akan menjadi lemah tidak sekalipun hilang meskipun Byantara selalu mencoba menjadi penenang.

Byantara tidak salah, hanya Janetha yang merasa tidak pantas. Dia bukan dilahirkan untuk dicintai sebab takdirnya bukan untuk balas mengasihi. Hidupnya terlalu berantakan untuk diperbaiki dan Byantara berhak mendapat yang lebih baik.

Jika Janetha mengambil langkah mundur, mungkin Byantara akan menyerah. Itu yang Janetha pikirkan saat ini. Tapi ternyata wanita itu salah karena dia tidak mengenal dengan benar sosok Byantara yang sekarang.

Bagi pria itu, sekali maju, tidak ada kata menyerah. Prinsip yang Byantara terapkan selama terapi untuk kesembuhannya itu berlaku untuk banyak hal dalam kehidupannya. Terutama saat Byantara memutuskan ingin bersama Janetha apapun kondisinya.

Disebut cinta, Byantara mungkin belum bisa yakin sudah sangat mencintai Janetha. Tapi disebut mengasihi, dia sudah pasti merasakannya. Sebab yang ada di kepala Byantara saat memutuskan ingin menjadi rumah Janetha adalah karena ingin selalu bersama wanita itu. Sosok yang memberi hidupnya lebih banyak warna yang semula hanya dihiasi bilik monokrom saja.

Byantara membuktikan rasanya melalui sikap. Dia mau Janetha yakin. Sesulit apapun, Byantara akan berusaha. Dan disinilah Byantara sekarang. Berdiri bersandar pada dinding, menunggu Janetha membuka pintu apartemennya.

Satpam lobby mengatakan bahwa Janetha sudah pulang, berarti wanita itu ada di dalam. Menunggu beberapa waktu sembari melihat layar ponselnya, Byantara lantas menekan bel sekali lagi. Kini tanda aktifitas online di whatsapp Janetha menyala, dan Byantara menegakkan tubuh.

"Saya tau kamu di dalem. Gak kasihan apa saya baru pulang?" Byantara mengetuk pintu dua kali, "Tha? Panggil security aja apa ya?"

Byantara menempelkan telinganya di daun pintu. Saat hendak kembali mengetuknya, suara knop yang ditarik membuat Byantara menjauhkan tubuh. Senyum pria itu terukir saat melihat ekspresi masam si penunggu unit.

"Nggak di kampus gak disini ngancem mulu kerjaan." Ujar Janetha sinis sembari membuja pintu lebar-lebar dan masuk mendahului.

Byantara membawa kopernya ke sudut ruangan. Lalu meletakkan paper bag di atas meja.

"Lagian gak dibuka-buka."

Janetha melipat tangan di dada, tidak mau menatap Byantara yang duduk di sofa sebelahnya, "Ya kan apartemen lo."

"Kan kamu tempatin, Tha. Gak etis saya nyelonong masuk."

"Nye nye nye."

"Saya gak bawa banyak oleh-oleh. Tapi Mama titip wingko babat Tuban. Kamu pernah coba?" Byantara membuka salah satu paper bagnya, "Cobain."

"Bang, lo langsung kesini? Gak pulang dulu gitu?"

Byantara mengangguk santai, "Saya udah bilang kan? Kalau udah sampai bakalan nemuin kamu."

Cover - CompleteWhere stories live. Discover now