16. Sidak

166 58 8
                                    

Voment ya^^

Katakan Janetha sedang sial karena harus terjebak berduaan dengan Jarel yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu lobby apartemen Byantara saat dia hendak pergi bertemu Ghina. Andai Jarel tidak berteriak dan menarik tangannya sampai menjadi pusat perhatian orang-orang, Janetha bersumpah bahwa dia enggan melihat wajah kakaknya itu. Rasa kecewa itu masih bercokol di hati Janetha mengingat pria di hadapannya itu berkhinat dengan tidak memberitahu masalah percetaian kedua orang tua mereka.

"Gue minta maaf, okay?"

Permintaan maaf Jarel sama sekali tak di gubris Janetha yang memilih memandang keluar jendela. Kini mereka ada di coffeshop yang ada di ruko tower apartemen untuk menyelesaikan masalah keduanya. Bagaimanapun, Jarel adalah seorang kakak yang mengkhawatirkan keadaan adik perempuannya pun dia sungguh merasa sangat bersalah.

"Tha."

Janetha masih diam bahkan tidak menyentuh frappucino yang Jarel pesankan.

"Sumpah, gue gak maksud buat bikin lo ngerasa gak dianggap atau ngesampingin pendapat lo. Tapi emangㅡgue gak mau bikin lo makin kepikiran. Kayakㅡkita tau kan kalo Mami sama Papi udah gak bisa diselametin lagi."

Janetha menyeringai, lalu mengalihkan pandangan sinisnya pada Jarel, "Dan lo pikir keputusan lo itu bener? Sakit hati gue, Bang. Gue gak tau kalau ternyata gue gak sepenting ini buat dikabarin masalah sebesar itu. Emang salah gue sih ya, gak keluarin nama sendiri di KK dari dulu."

"Sembarangan lo." Balas Jarel terpekik, "Gue sama Mami tuh udah mau bilangㅡtapi emang timingnya gak pas dan keburu Papi sama Mami ribut."

"Bang, proses cerai itu, sebanyak-banyaknya duit lo buat sewa 7 pengacara pinter, waktunya gak akan sesingkat itu. Jelas kan, lo pasti udah dibilangin dari lama kalau Mami ngajuin gugat cerai sejak kapan tau!"

Jarel menghela napas berat, masih menatap Janetha melotot tajam padanya.

"Iya, tapi gak juga." Jawab Jarel setelah beberapa saat diam, "Gue tau pas lihat Mami ketemu Pak Soni, pengacaranya di kafe pas jalan sama Aninㅡ"

"Tuh, Kak Anin aja duluan tau! Bajinganㅡ"

"Dengerin dulu, buset dah, Tha." Potong Jarel cepat, "Habis ketemu itu, gue sama Anin ngobrol sama Mami. Tadinya Mami sendiri yang mau ngomong ke kita, tapi Mami juga kelihatan desperate banget, Tha. Lo lihat bingungnya Mami waktu itu juga gue yakin gak bakalan tega."

"Gue udah mati rasa."

"Iya, gue ngerti kok yang lo rasain. Lo yang paling sering lihat Mami sami Papi berantem di rumah daripada gue. Gue ngertiㅡ"

"Enggak, Bang. Lo gak akan pernah ngerti karena lo gak ada di posisi gue. Lo cuma tau gue sakit, tapi lo gak tau rasa sakitnya jadi gue kayak apa. Lo punya tempat buat istirahat, ke temen-temen lo, ke kak Anin. Gue?? Gak ada! Gue gak punya tempat kayak lo. Even lo sebagai Abang gueㅡsatu-satunya manusia yang pengen gue ajak curhat aja gak ada buat gue, lantas gue punya cara apa selain mendem semuanya sendiri?"

"Salah gue, Tha. Gue minta maaf karena gak ada buat lo. Sampai gue tau dari Byan kalau lo sampai terapiㅡsumpah, gue nyesel."

"Simpen aja nyesel lo itu. Makin kesini gue tau kok, emang gue harusnya gak boleh bergantung sama siapapun. Sekarang biarin gue hidup pakai cara gue sendiri, Bang. Gue juga gak mau ngebebanin lo, apalagi lo udah punya Kak Anin."

"Lo gak jadi beban buat gue, Janetha. Lo tuh adek gue. Gila kali kalau gue anggap lo beban." Jarel meraih tangan Janetha dan menggenggamnya, "Please ya, Tha. Gue juga udah rundingan sama Anin, lo bisa bareng kita di apartemen."

"Gak perlu, bilangin makasih ke Kak Anin." Janetha melepas tautan tangan Jarel, menolak sentuhan kakaknya, "Perkara Mami sama Papi, gue udah gak perduli. Gue cuma pengen sehat, udah gak punya harapan apa-apa lagi buat yang lain. Jadi kalau lo mau minta maaf, gak perlu nampung gue, cuma tolongㅡbiarin gue hidup tenang."

Cover - CompleteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang