Rumah untuk Pulang

110 13 2
                                    

Happy Reading
....

Senja melukiskan keromantisannya di langit sore, disertai dengan angin yang berhembus lembut menyapu wajah-wajah yang sudah berada di ujung lelah.

Seorang gadis berambut pendek, menggoyang-goyangkan kakinya di atas rerumputan. Tatapannya terlihat kosong dan tidak ter-arah.

Nama wanita itu, Be.

Iya, namanya hanya sesingkat itu. Bahkan awalnya nama gadis itu hanya huruf B saja, untungnya petugas yang membuat akta kelahiran Be salah menulis nama menjadi Be, yang pada akhirnya membuat nama Be bertambah satu huruf, dan terus berlanjut sampe Be menjadi gadis dewasa seperti sekarang ini.

"Be." Seseorang menepuk bahu Be.

"Bintang." Be tampak cukup terkejut dengan kedatangan, lelaki yang ia panggil dengan nama Bintang itu.

"Kamu belum pulang ke rumah?" Bintang mengambil posisi duduk di samping Be.

Be menggelengkan kepalanya. "Aku takut." Be meremas ujung kemejanya.

"Nggak usah kasi tau nilai kamu, lupain kalau hari ini kita menerima raport." Bintang mengusap rambut Be dari belakang, menyalurkan sedikit ketenangan untuk sahabatnya, Be.

"Papaku yang punya sekolah kalau kamu lupa." Be menghela nafas.

"Bisa aja Om Daryl lupa, punya putri semanis kamu aja aku rasa kadang dia lupa," ucap Bintang sarkas.

"Pulang ya, bentar lagi udah malam. Nanti Papa kamu akan tambah marah, kalau kamu terambat pulang."

Be menundukkan wajahnya, dari ia kecil sumber ketakutannya selalu berasal dari rumah. Tempat yang seharusnya menjadi tempat ternyaman untuk Be, justru tempat itu adalah penyumbang trauma terbanyak untuk mental Be, dan pelakunya adalah Ayah kandungnya sendiri.

"Iya bentar lagi aku pulang. Kamu kok tau aku di sini?" Be mengalihkan topik pembicaraan.

"Ngikutin kata hati." Bintang menaik turunkan alisnya, menggoda Be.

Bukannya terharu atau apa, Be malah memukul jidat Bintang. "Menjijikkan." Be memicingkan matanya.

Bintang tidak marah apalagi sakit hati, dia malah tertawa lepas. "Nah begini baru Be, ringan tangan mulut pedas kayak bon cabe. Kalau yang menye-menye tadi aku nggak kenal. Itu Be yang kerasukan."

"Minta dihajar emang!" Be mendorong tubuh Bintang, hingga tersungkur di rumput.

"Aku pulang." Be bangkit dari posisi duduknya, Be menyampirkan tasnya di bahu.

"Iya pulang sana!" usir Bintang
....

Sebelum membuka pintu rumah, Be sempat merapalkan beberapa doa. Sampai karena paniknya, Be ikut menyertakan doa mau makan dalam doanya.

"Assalamualaikum," ucap Be sambil membuka pintu.

Daryl, Papa Be sudah berdiri tegap di ruang tengah menanti kepulangan Be."Jam sekolah sekarang sampai sore?" tanya Daryl dengan nada suara yang ketus.

"Maaf, Pa." Hanya itu yang bisa Be sampaikan, lututnya sudah terasa lemas.

"Mana raportmu?"

Sekujur tubuh Be terasa lemas, apa yang Be takutkan telah tiba juga. Dengan tangan bergetar Be menyerahkan raportnya pada Daryl.

1 menit 2 menit masih aman terkendali, sampai di menit ke 4. Tatapan mata Daryl mulai semakin tajam, nyaris seperti tengah mengulit Be hidup-hidup.

"Ini kamu sebut sebagai nilai!" Daryl melempar raport itu ke wajah Be. Diam-diam Be meringis kesakitan, ini bukan kali pertama ia menerima perlakuan kasar dari Papanya sendiri. Hati dan tubuh Be sudah cukup kebal, yang tadi belum seberapa.

Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now