Kun Fayakun

349 42 4
                                    

Happy Reading
...

"Assalamualaikum."

Seorang wanita berperawakan tinggi semampai, yang bernama Anisa menghampiri sahabatnya yang sudah duduk manis di dalam kafe.

"Waalaikumsalam, duh kangennya Nis." Hani menyambut Anisa dengan sebuah pelukan.

"Iya ya, udah lama enggak jumpa. Gue lagi sibuk banget soalnya." Anisa membalas pelukan Hani tidak kalah erat.

Setelah itu dilanjut dengan cipika-cipiki dengan sahabat Anisa yang lain.

"Yuk duduk-duduk. Moment langka ini bisa makan siang sama Bu Dosen yang super duper sibuk."

"Apaan sih, gue gak sesibuk itu juga kali sis," celetuk Anisa..

"Sibuk dong, jam terbang tinggi banget sis. Ke luar kota mulu." Hani menimpali sambil tertawa renyah.

"Mau pesan apa lu Bu Dos?" tanya Raya.

"Samain aja lah, gue lagi diet sebenernya. Tapi kalau udah makan sama kalian, peraturan itu gak berlaku dong ya," ucap Anisa sambil nyengir kuda.

"Kagak ada diet-diet."

Setelah itu Anisa, Hani, Raya dan Indah mulai mengobrol dengan topik yang beragam, bahkan sampai pada cerita mengenang masa-masa ketika mereka masih mahasiswa.

Sampai pada akhirnya satu jam kemudian,  Raya dan Indah pamit karena harus menjemput anak mereka ke sekolah.

Di saat itu, ekspresi Anisa mulai terlihat canggung, perasaan aneh itu kembali hinggap di hatinya. Pasalnya, hingga usia pernikahan yang sudah memasuki tahun ke-10 Anisa dan suaminya belum dikarunia seorang anak, suatu hal yang sangat sensitif bagi Anisa beberapa tahun terakhir ini.

Setelah kepergian Raya dan Indah, Hani kembali membangun suasana, karena Hani tahu betul apa yang sedang ada dalam pikiran Anisa saat ini. Hani kemnali mengajak Anisa mengobrol santai, yang topiknya menjauh dari masalah anak.

"Suami gue minta nikah lagi Na. Gue tau gue gak bisa ngasi dia keturunan sampai sekarang, oke 10 tahun memang waktu yang lama buat dia nunggu, tapi apa harus gue dimadu. Gue gak bisa terima Na."

Hani dan Anisa berhenti mengobrol ketika mendengar pembicaraan dua wanita yang mejanya berada di belakang mereka, suara wanita tersebut terdengar sangat jelas.

"Gue lebih baik pisah sama dia, gue gak tahan lagi. Ditekan sana sini. Gue juga pengen punya anak kali, tapi ini kan bukan kapasitas gue, ini Takdir. Ikhtiar udah jalan kok. Suami gue juga udah mulai dingin banget sama gue Na, dia udah gak cinta lagi sama gue kayaknya."

"Kenapa lu bisa menyimpulkan gitu?"

"Dia lebih sering di luar kota daripada di rumah, kalau tidur udah jarang meluk gue, sarapan udah jarang. Pulang-pulang udah malem, gue udah tidur. Kita udah jarang ngobrol Na. Dia udah bosan kayaknya sama gue."

Meskipun Hani terus berupaya mengalihkan perhatian Anisa, tetap saja Anisa lebih terfokus mendengar pembicaraan kedua wanita itu. Kalimat terakhir wanita itu seolah menampar pipi Anisa, dia teringat kembali dengan kebiasaan suaminya akhir-akhir ini. Persis seperti itu, mereka satu rumah tapi jarang ketemu, jarang ngobrol seperti awal-awal pernikahan. Suaminya menjadi mesra hanya ketika ingin berhubungan badan saja.

"Nis,  lu jangan mikir yang enggak-enggak deh," ucap Hani.

"Gue cabut duluan ya, gue masih ada urusan Han. Next time, kita ketemu lagi ya. Harus lebih sering."

"Oke Nis, tapi lu jangan mikir yang enggak-enggak ya." Hani tampak khawatir dengan dampak yang akan diakibatkan percakapan kedua wanita tadi terhadap mental Anisa.

Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now