Senyuman Terakhir

1.4K 86 15
                                    

Happy Reading

Nb: Kisah ini terinspirasi dari kisah Ali Banat. Kalian mengenalnya? Tau kisah perjalanan hidupnya hingga bertemu dengan maut? Coba ungkapkan apa yang kalian rasakan tatkala mendengar kisahnya yang begitu inspiratif?
...

Assalamualaikum penduduk bumi? Alhamdulillah mentari bersinar indah pagi hari ini. Teriknya sedikit menyilaukan, akan tetapi pesonanya tetap berhasil melukis seutas senyum yang merekah di wajah ini, itu artinya hatiku hingga detik ini masih mengenal sebuah arti dari rasa syukur. Bersyukur, mentari masih menjalankan tugasnya semana biasanya.

Jika berbicara arti sebuah rasa syukur, aku akan selalu terkenang kepada seorang hamba Allah, yang perjalanan hidupnya sangat menginspirasi, dia Abangku. Kami lahir dari rahim yang sama, kami satu aliran darah. Aku akan bercerita kisah hidup kami, kisah hidup Abangku yang menginspirasi.

Baiklah, kita mulai dari awal.

Namaku, Stefani Ananta. Aku bukan muallaf, sungguh. Aku lahir dari orangtua yang beragama Islam. Lalu namaku? Ya begitulah jalan hidup kedua orangtua kami pada masanya, Agama seolah hanya pelengkap di KTP.

Usiaku saat ini 30 tahun, sebenarnya aku sudah memasuki usia yang  cukup matang untuk wanita yang masih menyandang status single sepertiku. Wah, aku baru saja membeberkan statusku secara tidak langsung ya, okelah tidak masalah.

Nama Abangku, Dimas Ananta.

Hanya ada aku dan abangku. Kami hanya berdua. Tidak perlu berebutan untuk menikmati gelimangan harta yang disuguhkan oleh kedua orangtua kami.

Ini sebuah kisah 3 tahun silam. Tepat sekali, aku tidak akan mengisahkan kisah di tahun ini. Akan tetapi sebuah kisah yang terjadi tiga tahun lalu, kisah yang menjungkirbalikkan roda kehidupanku hingga kini.
...

3 Tahun silam.

"Abang... " Aku terlonjak kaget ketika keluar dari kamar, dan menemukan Bang Dimas berjalan sempoyongan di ruang tamu. Bekas muntahannya berjejer sepanjang jalan yang ia lewati.

"Abang minum berapa banyak sih."

Aku membopongnya, bau yang menguar dari bajunya sangat menyengat. Sepertinya dia habis minum wine satu pabrik, kondisinya sangat kacau.

"Ambilkan aku wine, Fin."

Sudah mabuk nyaris sekarat seperti ini, dia masih meminta wine. Ingin rasanya ku hempaskan tubuh sialannya ini ke tiang yang berada di sudut ruangan.

"Wine." Dia terus meracau.

"Dan malam ini Abang bakal mati bersama wine-wine kesayangan Abang ini, dasar brengsek!"

"Ayok minum dek, minum-minum." Di melepaskan diri dari pelukanku, berjalan menuju lemari-lemari keramatnya itu. Yang berisi botol-botol laknat itu.

"Ambilkan gelasnya, cepat."

Benar-benar sangat menyusahkan, mau tidak mau aku mengikuti permintaannya. Seperti biasa, aku juga berakhir dengan ikut menikmatinya, sebenarnya sama saja. Aku dan Abangku sama-sama maniak minuman yang mengandung alkhohol dan sejenisnya. Hanya saja dia lebih parah sedikit dibanding aku. 

Minum-minuman haram, berhubungan seksual, menghabiskan waktu malam di club, sudah menjadi kebiasaan kami yang tidak terelakkan lagi. Entah kapan mulainya, yang pasti begitulah adanya.

Orangtua kami di mana? Entah. Kami pun tidak pernah tau apa saja yang mereka lakukan setiap harinya. Kadang terdengar dalam sehari mereka bisa berkunjung ke dua negara atau lebih, sarapannya dimana, makan siangnya dimana, makan malamnya juga entah di mana. Bahkan dimana mereka tidur pun kami tidak selalu tau. Bagi kami hal itu tidak sepenting itu, mereka juga sama, tidak merasa kami perlu mengetahui keberadaan mereka di belahan bumi mana setiap harinya.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang