13- Menjadi Asing

141 37 14
                                    

Kita adalah kata yang tak pernah memiliki makna.
***

Tidak biasanya pagi-pagi Yara pergi ke kantin. Berhubung dirinya tidak sempat sarapan, makanya ia memutuskan untuk membeli roti sebagai pengganjal perutnya.
Cewek itu membayar makanannya dan memasukan ke dalam kresek kecil. Ketika berbalik, ia dikejutkan dengan keberadaan Ghafi yang sudah berdiri di depannya. Sang kakak kelas melambaikan tangan sembari menyapanya. Tentu saja Yara senang bukan main.

"Belum sempet sarapan juga?" tanya cowok itu yang ia balas dengan anggukan kaku.

"Tunggu bentar ya, barengan ke kelasnya." Ghafi tersenyum tipis dan melewatinya untuk membayar.

Kelas keduanya memang memiliki arah yang sama meski Ghafi berada di lantai tiga. Yara menunggu cowok itu hingga kembali.

"Yuk!" ajak Ghafi hingga mereka berjalan beriringan.

Yara melirik kakak kelasnya lalu menggigit bibir bawahnya. Ia ingin membuka topik, tapi ragu.

"Em ... Kak Ghafi belum sempet sarapan juga?" Akhirnya Yara memaksakan diri bertanya terlebih dahulu. Mulai saat ini, ia akan berusaha membuat Ghafi melihat ke arahnya.

"Iya, semalem abis nonton bola, eh malah bangun kesiangan," kekeh cowok itu membuat Yara ikut tersenyum, tak pernah mengira akan bisa berbicara seperti ini dengan pujaan hatinya.

Langkah memelan sosok di sebelahnya membuat Yara mengernyit. Ia kemudian mengikuti arah pandang Ghafi dan dibuat tertegun.

"Mia!" sapa Ghafi hendak menyentuh tangan Samia yang langsung mundur. Yara sendiri hanya diam memandangi tangan sahabatnya yang mengenakan arm sling. Rasanya ia ingin bertanya, tapi kalimat yang sudah tersusun rapi tersebut terasa menyangkut di tenggorokan.

"Tangan kamu udah mendingan? Seharusnya kamu istirahat lebih lama di rumah, jangan maksain masuk sekolah dulu."

Yara mendengar nada penuh perhatian cowok di sebelahnya, tapi entah kenapa bukan lagi rasa cemburu seperti sebelumnya, Yara malah tertarik untuk memperhatikan pergerakan Samia yang tampak menghindar, bahkan lanjut berjalan dan mengabaikan pertanyaan Ghafi.

Ia tahu, Samia pasti menghindari cowok itu karena dirinya. Yara diam-diam mengembuskan napas berat. Melihat Ghafi yang kini melayangkan tatapan bingung padanya, Yara langsung bersuara, "Aku duluan ya, Kak. Lupa belum meriksa tugas."

Tanpa menunggu jawaban, Yara melangkah cepat menaiki tangga. Ia belum siap ditanyai apa pun tentang Samia, tepatnya bingung harus menjawab apa.

Karena melamun, ia sampai tak sadar ada sosok lain yang keluar dari kelas XI IPA 1. Tabrakan pun tak terelakan lagi hingga kresekan di tangan Yara terlepas. Cewek itu segera berjongkok untuk memunguti roti dan permen yang bertebaran.

Melihat sang pelaku hanya berdiri tanpa sepatah katapun, Yara berdecak dan mendongak untuk mengomeli, tapi ia dibuat membatu mendapati siapa sosok tersebut. Tenggorokannya tiba-tiba terasa kering, pun bibirnya yang berubah kelu.

"Sorry," ucap cowok itu sebelum kemudian melengos dan melewatinya begitu saja.

Yara seharusnya tidak terkejut dengan perubahannya. Namun, entah kenapa sebagian hatinya merasa kecewa. Mungkin karena ia tak biasa diperlakukan seperti itu oleh orang yang sama.

"Nes! Ponsel lo-" Arsen yang berlari keluar kelas langsung menghentikan lajunya setelah hampir menabrak Yara yang masih berjongkok di tempatnya. Cowok itu sempat mendesah saat sahabatnya sudah tak terlihat lagi. Ia kemudian menatap Yara dan bertanya dengan canggung. Tentu saja mereka masih belum saling bicara setelah kejadian penamparan kemarin.

Nayara's Two Wishes ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang