28- Luluh

182 38 32
                                    

Bukankah memaafkan membuat hati lebih ringan?
***

Suasana ruangan tampak sepi, padahal dua orang di dalamnya sedang saling melemparkan tatapan. Wanita berjilbab maroon yang berdiri di dekat brankar tampak canggung. Namun, berusaha bersikap biasa demi memperbaiki hubungan dengan putra dari mendiang suaminya.

Mirna mengembangkan senyum lalu mengambil bubur yang sengaja dibeli Ghafi sebelum berangkat ke sekolah. Makanan rumah sakit yang kurang enak dilidah membuatnya tidak tega memberikan Danes memakannya.

"Makan dulu ya?" Mirna menyodorkan piring dan duduk di kursi, menghadap putranya.

Danes hanya diam memperhatikan.

"Mau mama suapin?" tawar wanita itu yang langsung mendapat gelengan.

"Aku ... bisa sendiri." Danes menjawab dengan raut datar yang masih bertahan. Mirna sampai bingung harus bagaimana untuk meluluhkan sang putra.

"Mama suapin ya?"

"Gak usah," tolak Danes bersikukuh.

"Shaka," panggilnya menatap sendu. Wajah Danes begitu mirip dengan mendiang suaminya dan itu menciptakan rasa rindu yang mendalam. "Tolong, izinin mama buat rawat kamu."

Danes sebenarnya mulai luluh, apalagi saat mengingat sepasang ibu dan anak itu datang ke rumahnya dan membawa ke rumah sakit. Mirna memeluknya ketika Danes berkali-kali memanggil sang ibu, mengeluhkan kesakitannya. Pula Ghafi yang dengan sigap menggendongnya saat tahu bahwa dirinya tidak baik-baik saja.

Namun, ego Danes masih terlalu tinggi. Untuk semua luka yang ditorehkan orang-orang padanya, ia merasa sangat kesulitan untuk mengikhlaskan apa yang terjadi. Danes belum bisa berdamai sepenuhnya dengan keadaan walau ingin.

"Ka?"

Danes tersadar dari lamunannya dan menoleh.

"Mau ya mama suapin?" pinta Mirna pantang menyerah.

Tatapan tulus itu membuatnya dapat merasakan kehadiran sosok ibu. Entah dorongan dari mana, Danes akhirnya mengangguk.

Sebuah senyuman tersungging di bibir Mirna. Mata wanita itu dengan mudah berkaca-kaca. Ia segera mengambil satu sendok bubur dan mendekatkan pada bibir Danes yang sempat membeku.

"Doa dulu," ucap Mirna membuatnya lagi-lagi tersadar. Danes berdehem lalu membuka mulutnya.

Rasa pahit terasa di lidahnya, tapi ia memaksakan diri menelan bubur tersebut. Ia harus sembuh karena masih banyak yang harus dilakukannya dan tentunya Danes tak ingin terus menyusahkan orang lain.

Setelah selesai makan, Mirna membantunya meminum obat dan menyuruh beristirahat. Wanita itu dengan telaten merapikan selimut dan bantalnya.

"Mama nunggu di luar ya, biar kamu bisa istirahat." Padahal, bisa saja Mirna menungguinya di ruangan. Namun, suasana canggung yang tak kunjung mencair membuatnya memutuskan untuk memberi kebebasan pada putranya.

Seperti wanita itu, Danes menatap sekeliling ruangan lalu menghela napas berat. Ada hangat yang merayap di dada atas perlakuan Mirna, tapi ada pula rindu yang menggebu untuk sang ibu.

Danes berusaha memejamkan mata untuk menenangkan pikirannya. Ia harap semuanya akan segera membaik.
***

Nayara menatap goddie bag berisi tuperware dan ponsel di tangannya bergantian. Sepuluh menit sudah berlalu, tapi yang ditunggu belum juga datang.

Mendudukan diri di kursi kayu, ia menyandarkan punggungnya. Hari ini rasanya begitu berat. Mungkin karena sejak kemarin dirinya tidak fokus pada apa pun. Pikirannya terus tertuju pada Danes yang berada di rumah sakit.

Nayara's Two Wishes ✔️Where stories live. Discover now