8. Kursi

6.9K 112 2
                                    

Hari berlalu, kini sudah 5 hari Dika menginap di rumah Anas. Ia mulai terbiasa untuk tinggal bersama mereka. Setiap malam Dika selalu tidur bersama Om Muh. Anas yang sudah tahu hal itu, membiarkan saja itu terjadi. Begitu pula kakek dan nenek Anas. Setiap malam, mereka selalu melakukan hal yang sama, membuang pejuh Om Muh.

Semua berjalan dengan semestinya, hingga suatu sore, Dika merasakan sesuatu yang aneh pada Om Muh. Biasanya di rumah, Ia selalu melihat Om Muh bertelanjang dada karena tak tahan dengan gerah. Kini Om Muh selalu mengenakan baju kemanapun dan apapun aktivitasnya, meskipun keringat sudah membasahi bajunya.

Hingga menjelang tidur, Dika yang sudah berada di kasur Om Muh. Ia menunggu Om Muh untuk tidur bersamanya.

Om Muh memasuki kamar, ia melepaskan semua pakaiannya di depan Dika. Kini ia tak lagi malu untuk bertelanjang di depan Dika. Sedangkan Dika dengan senang hati menerima pemandangan itu. Om Muh mengenakan sarungnya dan menyalakan lampu tidur. Seperti biasa ia berbaring di samping Dika dan Dika memeluk tubuh kekar Om Muh.

Perhatian Dika tertuju pada dada Om Muh, "Om luka ya? Kok banyak bekas merah-merah," tanya Dika. Memang telihat banyak sekali bekas merah di dada Om Muh. Itu bekas cupang, itulah yang menajdi alasan Om Muh tidak berani membuka baju di rumahnya.

"Ngga apa-apa Dik, Dika tidur ya, Om udah cape banget hari ini," jawab Om Muh mengelak.

Dika mengangguk. Tak lama kemudian, ia mengarahkan tangannya, ke arah gundukan yang ada di balik sarung Om Muh. Namun dengan cepat Om Muh menarik tangan Dika. "Jangan malem ini ya Dik, Om cape," pinta Om Muh dengan menatap lembut ke arah Dika. Dika cemberut dengan respon Om Muh. Tidak biasanya ia menolak.

Melihat gelagat Dika, Om Muh mengarahkan tangan Dika ke putingnya. Dika menyambutnya dengan memainkan puting itu. "Kalo ini boleh dimainin, tapi jangan di sedot ya," Om Muh mencoba membujuk Dika. Dika mengiyakan Om Muh.

"Sepertinya Om Muh bener-bener capek deh," ujar Dika dalam hati. Dika tak keberatan, toh ia masih bisa memainkan puting Om Muh.

Sementara Om Muh mulai memejamkan matanya. Ia tak mungkin menceritakan apa yang terjadi padanya ketika Dika dan Anas pergi ke sekolah.

Flashback!

Pagi itu, Om Muh sudah menyelesaikan pesanan pintu tetangganya. Ia mengantarkan pintu itu ke tetangganya. Karena jaraknya tak begitu jauh, hanya terpisah beberapa gang, Ia memutuskan untuk mengantarkan pintu itu langsung dengan berjalan kaki. Dengan mengenakan baru putih ketat dan celana training hitamnya, Ia menggotong pintu itu di atas kepalanya. Banyak tetangga yang bertanya kepada Om Muh kemana ia akan pergi sepagi ini.

Setelah mengantar pintu dan menerima upah hasil kerjanya, Ia berjalan memutar untuk membeli beberapa rokok dan camilan untuk Anas. Om Muh lalu berjalan pulang menuju rumahnya.

Di tengah perjalanan, terdengar suara seorang wanita memanggilnya. Ia mencari sumber suara itu dan mendapati Indah sedang berdiri di depan rumahnya sedang menatap ke arah Om Muh dengan tersenyum.

"Kamu manggil saya?" tanya Om Muh dengan suara datar. Memang di jalan itu, sangat sepi. Semua orang sudah berangkat kerja atau mengantar anaknya ke sekolah.

"Mau minta tolong kang hehe, kebetulan akang lewat," jawab Indah, ia melangkah menuju tempat Om Muh. Indah mengenakan daster merah di atas lutut, dengan satu kancing yang terbuka di bagian dadanya. Indah memang pandai merawat badannya, meskipun sudah berusia 30an, Ia masih terlihat seperti umur 20an. Orang-orang tidak akan menyangka umur Indah yang sesungguhnya. Om Muh sedikit terpesona melihat Indah.

"Mau minta tolong apa?" tanya Om Muh lagi. Ia sebenarnya enggan untuk berurusan dengan Indah. Namun ia tidak bisa menolak permintaan tolong seorang wanita.

Dika dan Para Suami - New ChapterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang