11. Gendong

4.9K 116 14
                                    

Malam tiba, semua anak sudah bermain di halaman masjid selepas mengaji. Mereka bermain dengan riang gembira, namun tidak dengan Dika. Ia hanya terduduk lesu di teras masjid. Ia tidak peduli dengan semua temannya saat ini. Bahkan ia tidak peduli dengan ajakan Anas untuk ikut bermain bersamanya.

Sudah satu minggu sejak kepergian Om Muh untuk kembali merantau. Dika merasa hatinya kosong. Seolah ada lubang besar yang menganga di hatinya. Ia sangat rindu akan kehadiran Om Muh. Itu lah yang membuatnya tidak bersemangat akhir-akhir ini.

"Dika gak main sama temen-temen?" suara Ustad Izhar menghentikan lamunannya. Ia duduk menemani Dika.

Dika melihat ke arah sumber suara, kemudian kembali tertunduk dan menggelengkan kepala.

"Kenapa? Ada yang mau Dika ceritain sama Om?" tanya Ustad Izhar lagi. Dika tidak memanggil Ustad Izhar dengan sebutan Ustad. Melainkan dengan sebutan Om, kadang juga Om Ustad, karena ia menganggap semua laki-laki dewasa merupakan Omnya.

Dika menatap wajah Ustadnya itu. Ia baru menyadari, bahwa Ustad Izhar memiliki karisma tersendiri. Wajahanya seolah bercahaya, dengan mata yang teduh dan juga... Tampan. Cukup lama Dika memandang wajahnya.

"Dik?" tanya Ustad Izhar heran.

Dika sontak kaget, "Eum, sebenernya Om," Dika berpikir. "Ga jadi deh, hehe,"

"Hahaha, kalo kamu belum bisa cerita sekarang, Dika bisa ke tempat Om kapan aja," balas Ustad Izhar. Dika tersenyum ke arahnya, namun tak lama kemudian Ia kembali melamun.

"Sini," Ustad Izhar menarik tubuh Dika. "Berat juga ya kamu," goda Ustad Izhar. Ia menarik Dika ke atas pangkuannya, dan memeluk Dika dari belakang.

Dika terkejut dengan perlakuan orang Dika. Ustad Izhar menjadi orang pertama yang memeluknya setelah kepergian Om Muh.

Hangat. Sama seperti Om Muh yang mendekap tubuhnya. Tubuh Dika rindu. Wangi tubuh Ustad Izhar memang berbeda dari Om Muh, namun kehangatannya tak kalah. Dika ingin tetap seperti ini untuk waktu yang lama.

Selepas sholat isya, Dika berjalan sendiri menuju rumahnya dengan langkah pelan. Tak lama berselang, tangan besar menahan pundak Dika. Ia menoleh, dan terlihat wajah ustad Izhar tersenyum padanya.

Tanpa aba-aba, ustad Izhar jongkok membelakangi Dika. "Ayo naik," perintah ustad Izhar. Dika masih berdiam diri. Bingung.

"Yah malah diem, ya udah kalo ga mau," gurau ustad Izhar.

"Ehh... mau mau mauuuu, mau omm!" jawab Dika sedikit berteriak kecil.

"Hahaha, iya iyaa," ustad Izhar kembali jongkok, memperlihatkan punggungnya. Dika yang tak sabaran, langsung melompat ke punggung tegap itu.

Bughhh... terdengar bunyi tubuh Dika yang beradu dengan punggung Ustad Izhar.

"Aduhh, pelan-pelan dong Dik," gerutu ustad Izhar, sembari tetap berdiri menggendong Dika.

"Hehehe, ayoo Om!" seru Dika.

Ustad Izhar mulai berjalan, menyusuri jalanan menuju rumah Dika. Mereka berdua bercerita tentang banyak hal. Rasa penasaran Dika memuncak ingin mengetahui Ustad Izhar lebih jauh. Namun, ia tak bisa menggali lebih dalam lagi karena ia sudah sampai di depan rumahnya.

"Ehh Dikaa, kok malah gendong sama Pak Ustad," ucap Papa Dika yang keluar dari terasnya menemui Dika dan Ustad Izhar.

"Hehe, gapapa Pak. Itung-itung olahraga angkat beban," jawab Ustad Izhar sembari menurunkan Dika. "Lagian, ini juga empuk Pak, hehe," sambung Ustad Izhar sambil menoel perut Dika yang menggemaskan.

"Ihh, Om ini nakal," jawab Dika kesal. Semua tertawa melihat reaksi Dika.

"Mampir dulu Pak Ustad?" tawar Papa Dika.

Dika dan Para Suami - New ChapterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang