Empat; Si Sulung

1K 165 19
                                    




"Ia tidak dituntut menjadi nomor satu, tapi sempurna. Ia tidak diajarkan menjadi kuat, tapi tegar. Ia telah terbiasa menjadi selalu yang harus. Mengabaikan fakta, dirinya yang paling perlu diurus."

***

DAMIAN menegak kopinya hingga tandas. Dalam hati berharap, beban yang memberatkan pundak dan kelopak matanya akan luruh bersama dengan cangkir kafein keempat yang tengah ia konsumsi hari ini. Namun, tidak ada yang berubah. Damian tetap kelelahan, dan jumlah berkas yang menumpuk di meja tidak kunjung berkurang.

Sejujurnya, Damian hampir lupa kapan terakhir kali tubuhnya beristirahat lebih dari 8 jam. Biasanya, ia tidur lebih larut dari kebanyakan manusia normal pada umumnya dan bangun lebih awal dari matahari terbit. Tidak selalu pekerjaan yang menahan tubuhnya beristirahat. Seringnya, isi kepala yang membuatnya terjaga.

Damian adalah rumit yang tak mampu diterka. Tinggal dalam isi kepala yang berisik, dan keharusan memikul harapan di kedua pundaknya. Ia terbiasa menyimpan banyak hal sendirian. Luka ia rawat sendiri, berantakan pun ia rapikan sendirian. Kini, ia telah berada di titik mati rasa. Di mana mengenali diri sendiri pun ia tak mampu.

Ibarat robot, Damian telah dikendalikan sejak lama. Tubuhnya bergerak, namun hatinya tak lagi bekerja. Hidup untuk keluarga, prinsip yang ia pegang teguh. Juga, satu-satunya tujuan yang ia miliki. Selain itu, ia tidak peduli. Termasuk jam tidurnya yang berantakan.

Bunyi ketukan pintu mengembalikan fokus Damian. Ia sontak membuka mata. Hal pertama yang terekam oleh irisnya adalah wajah Jerry yang muncul dari balik pintu ruang kerjanya dengan rambut setengah basah dan handuk kecil menggantung di leher. "Dam, bisa luangin waktu sebentar?"

Sebelah alis Damian terangkat naik. "Buat?"

"Diskusi."

Damian menghela napas berat. Perlahan ia bangkit berdiri, seraya meraih cangkir kopi di atas meja kerjanya. "Kalau nggak penting besok aja. Kerjaan gue masih banyak."

"Ini tentang Valeria."

Satu jawaban dari Jerry sudah cukup untuk menghentikan langkah Damian. Sudah cukup pula untuk membuat Damian seketika melupakan setumpuk berkas yang beberapa menit lalu masih memanggil-manggil namanya, dan niatnya menyeduh cangkir kopi kelima.

♠️♦️♣️


"Bang, gue yakin seratus persen ada yang nggak beres," Leo membuka percakapan. Mata bulatnya berkilat, sedang kakinya mengetuk-ngetuk permukaan ubin dengan tempo tak beraturan. "Buktinya tadi pagi—"

"Nanti dulu," potong Jerry. "Tunggu Reza. Dia masih di toilet."

Leo berdecak tak sabar. "Bang Reza dari tadi lagi buang hajat atau buang dosa, sih? Betah banget di kamar mandi."

"Sengaja," Reza muncul tiba-tiba dari arah tangga. Rambut putihnya tampak menyala, nyaris menyatu dengan warna dinding. "Biar nggak kalah sama lo."

"Lah, kenapa jadi gue?" tukas Leo tidak terima.

"Biasanya, kan, lo kalau mandi butuh waktu satu jam sendiri. Itu yang dibersihin badan atau aib?" balas Reza.

"Leo, tadi lo mau bilang apa?" tanya Jerry tepat sebelum Reza dan Leo kembali berdebat.

"Ah, itu..." perhatian Leo beralih sepenuhnya pada Jerry. "Tadi pagi Val tiba-tiba ngomongin soal cinta. Katanya, cinta nggak pandang usia. Walaupun masih muda belum tentu cinta monyet. Pas gue tanya siapa yang ngajarin, dia bilangnya pernah baca di buku. Tapi, nggak bisa jawab judul atau nama penulis bukunya."

Gara-Gara Abang [SUDAH TERSEDIA DI SELURUH GRAMEDIA DAN TBO]Where stories live. Discover now