Rule #23

14.2K 1.7K 321
                                    

Randi menyesap minumannya bersamaan dengan handphone-nya yang bergetar pelan di meja. Ia meraih dan membuka chat dari salah satu pinned contact-nya tersebut. Hanya sebuah chat pendek yang berisikan bahwa kekasihnya itu tidak akan bisa dihubungi sampai lima jam ke depan karena flight ke Shanghai.

Ia mengetik balasan safe flight sebelum kembali meletakkan handphone tersebut di atas meja. Tangannya bergerak mengeluarkan sebatang Kent Blue dari kotak dan menyalakannya. Keningnya berkerut ketika menyadari cocktail Devan yang baru datang—mengingat ia yang terakhir bergabung dan baru saja menyelesaikan makan malamnya. "Lo pesen minum apa, Dev?"

"I Love You From My Head Tomatoes. This is Aries sign, pas banget sama kayak zodiac gue and even perfectly suit my taste buds and the character. Tadi bartendernya ngedeskripsiinnya as fiery, passionate and adventurous."

Randi mendengus yang menandakan ia menyesal bertanya, terlebih melihat ekspresi Devan yang minta ditendang.

"Jadi..." Giliran Radit yang membuka suara di tengah-tengah kesibukannya menahan rokok di selipan bibir sambil menyalakannya. "Say it. Is it a difficult choice for you, Di?"

Dari sejak mereka sampai dan menghabiskan makan malam, Randi sebenarnya kurang lebih sudah merangkum ceritanya dengan singkat—tanpa meninggalkan hal-hal penting ke keempat sahabatnya itu. Termasuk bagian tentag pertemuan terakhirnya dengan papa Reva dan juga kalimat-kalimat yang disampaikan terhadapnya.

Randi memainkan rokok di tangannya. "I don't have an answer for now, Dit."

"You have." Giliran Alex yang mengangkat suara. "Nggak mungkin lo nggak tau, sementara kita aja tau. Bukan karena lo nggak punya jawaban, tapi emang sesulit itu untuk menyuarakan pilihan lo."

"In other words, I'm practically a coward right now." Randi membenarkan ucapan Alex.

"No." Keempat sahabatnya memasang ekspresi tidak setuju. "Damn, bro. Kalau lo bisa mengambil keputusan secepat itu tanpa rasa takut kehilangan, justru lo yang pengecut. Malah ketika lo nggak bisa menjawab saat ini, at least gue lega karena itu berarti dua-duanya sebegitu pentingnya dalam hidup lo. Makanya gue sengaja mengeluarkan pertanyaan retoris tadi," tukas Radit lagi. "Let's say, okay, itu jalan yang ditawarkan bokap cewek lo, tapi bukan berarti nggak ada jalan lain yang bisa lo pilih, kan? As far as I know, Reva is still by your side. As long as it's still like that, berarti nggak menutup kemungkinan lo masih punya jalan lain."

"Or..." Kali ini suara Ryan, yang duduk di hadapannya dan Randi menyadari sejak tadi menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan, terdengar. "... Ada yang berubah di hubungan lo dengan Reva?"

Randi menggeleng. "We just don't feel like talking today—too many thoughts on our minds. But at the same time, I feel so bad for her. Dibanding gue, yang dia jalanin jauh lebih berat. Gue mungkin ketemu bokapnya, menghadapi segala tekanan bokapnya, nggak setiap waktu. Itupun nggak sekali-dua kali gue menunda or menghindar untuk bertemu dengan beliau. But for Reva, dia nggak bisa menghindar. Gue tau seberapa besar tekanan dari bokapnya karena masalah tentang hubungan gue dan dia. Dan itu hampir setiap saat. Sementara posisi dia di 'bawah', she has no other options selain mendengarkan dan mencoba meluluhkan hati bokapnya. Sekalipun nggak jarang harus berakhir dengan perdebatan antara mereka." Ia meletakkan rokoknya di asbak dan menyesap minumannya yang masih penuh. "And I know, that was so exhausting. It left her feeling completely drained."

"You're afraid she will get tired of trying?"

Randi kembali meraih dan menghisap rokoknya dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan Devan. "No. Kalau suatu saat dia lelah dan dia mutusin untuk menyerah, gue nggak akan menahan dia."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 16, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

RestrictionWhere stories live. Discover now