Rule #2

35.7K 4.9K 1.7K
                                    

disclaimer : this story will be updated once in a week or once in two weeks. and ofc it will be always on weekend, either it's saturday or sunday





"Kak Ryan... yang dulu ngajak kita makan siang pas Kak Fanny juga dinas kesini, bukan?" Leo bertanya begitu pembicaraan Stacya dan Ryan selesai di telepon dan mereka kini tengah duduk di salah satu meja di Lau Pa Sat setelah selesai memesan makanan.

Stacya mengangguk. "Terakhir aku ketemu sama dia itu sekitar enam bulan lalu. Makanya tadi agak kaget juga ngeliat tiba-tiba nelepon."

"Tapi masih sama Kak Fanny, kan?"

"Don't know..." Stacya mengangkat bahunya, clueless. "Last time I've encountered both of them, they surely had a problem—sekalipun aku nggak tau tentang apa." Ia mengingat ketika saat itu Fanny tiba-tiba menelepon dan memintanya untuk mengurus penerbangan mendadak ke SG untuk bertemu dengan Ryan. Namun sekalipun malam itu ia menginap di apartment Ryan bersama dengan Fanny, Stacya tidak menyuarakan apapun tentang rasa penasarannya. Menurutnya itu bukan saat yang tepat—dan juga Stacya merasa tidak berhak menanyakannya kecuali kalau kakaknya sendiri yang memulai pembicaraan tersebut pertama kali. Dan sejak saat itu Stacya sendiri belum pernah bertemu dengan Ryan lagi. Tiga bulan lalu ketika ia pulang ke Jakarta, Fanny sendiri sedang tidak disana karena sedang mengikuti advanced development program selama seminggu di Spain. Selain itu, isi pembicaraannya dengan Fanny—yang biasanya paling tidak tiga hari sekali pun—tidak pernah menyinggung tentang Ryan. Well, kalau untuk hal satu itu memang bukan hal yang aneh karena bahkan sebelum dengan Ryan pun, kakaknya tersebut memang jarang membahas tentang relationship matters­-nya.

"Trus tadi neleponnya karena...?"

"Nanti aku bilang habis makan." Stacya tersenyum ke arah pacarnya penuh arti yang dibalas dengan anggukan paham.





-xxx-



"Dinnernya besok dimana, Sayang? Aku lupa."

"VIEW, Fairmont," jawab Randi sambil berpindah ke sisi kanan ketika ia dan Reva berjalan di area parkir terminal kedatangan Soetta di Jumat malam itu. Ia mengelus kepala wanita di sisinya itu. "Capek banget, ya?" Ia tahu hari ini schedule Reva cukup padat dengan berbagai meeting namun tetap saja wanita itu bersikeras untuk menjemputnya di bandara.

"Nggak, kok. Nggak ada capeknya sama sekali dibanding kamu yang langsung harus flight pulang kerja kayak gini." Reva menggandeng lengan Randi. "Ini mau aku antar ke Pondok Indah apa di apartment?"

"Mama sama Papa lagi nggak ada. Ke apartment aja dulu, Rev. Kunci mobilnya mana?"

"Aku aja yang nyetir."

Randi mengambil alih kunci mobil di tangan Reva. "Kan kamu tadi udah nyetirnya pas kesini. Gantian, Sayang."

Reva mau tidak mau tersenyum mengalah dan membuka pintu mobil di sisi satunya. "Back to previous topic, Ran. Ryan ngundang makan malam sampai di Fairmont banget dalam rangka apa?"

"Kebanyakan duit mungkin," jawab Randi dengan senyum tertahan. "You'll know it later, Sayang."

Reva menatap Randi yang tengah fokus menyetir di sampingnya lalu ikut tersenyum paham. "I hope it will be a beautiful dinner."

"It will." Randi mengangguk sambil meraih sebelah tangan Reva dan menggenggamnya. "No one deserves it more than him."





-xxx-



"Apa gue minta pindah divisi aja ya ke Regulatory kalau kayak gini?" Devan berkomentar ketika ia akhirnya menikmati hidangan penutup malam itu bersama dengan Sembilan orang lainnya yang duduk di meja yang khusus dipesan Ryan di salah satu sudut VIEW malam itu. "Syukuran satu project aja sampai traktir sepuluh orang di VIEW, cuy. Ingetin gue kalau project closure lo banyak gue minta ditraktir makan malam di Paris sekalian sama hotel dan pesawat."

RestrictionWhere stories live. Discover now