Deceiving Feelings

5.6K 585 10
                                    

Jihan menghela napas panjang untuk kesekian kalinya. Dia menelisik setiap sudut kamar yang sudah banyak memberinya kenangan indah. Entah ini keputusan benar atau tidak, yang jelas dia sudah bertekad untuk segera meninggalkan ruangan ini.

Jika nanti dia menyesali keputusannya, maka tidak ada yang harus dia salahkan. Ini murni keputusannya sendiri tanpa paksaan dari siapa pun. Jihan hanya ingin mengubah hidupnya. Dia tidak mungkin terus-terusan berada dalam situasi seperti ini. Selain tidak baik untuk kondisi hatinya, mental pun harus dia pikirkan.

"Ayah, maaf ya, kalau Jihan gak bisa patuh sama perintah ayah untuk tetap tinggal di sini setelah ayah tiada. Jihan gak mau terus-terusan terpuruk. Kehilangan ayah udah cukup berat dan menyakitkan. Jihan mau sembuh. Tolong ayah ngerti ya. Jihan sayang sama ayah."

Air mata kesedihan tidak dapat Jihan tahan. Dia menangis sesenggukan sambil memeluk sebuah bingkai foto berisi potret dirinya dengan sang ayah saat dia lulus wisuda tahun lalu.

"Bunda emang baik. Jihan juga sayang sama bunda. Tapi, Jihan harus pulih dulu. Benar-benar pulih. Biar bisa sama-sama lagi dengan bunda dan juga Delvan. Perasaan Jihan harusnya gak kayak gini, kan, yah?"

Dalam tangisnya, Jihan meratapi nasib perasaannya. Delvan merupakan cinta pertama dan juga laki-laki pertama yang menjaganya setelah sosok sang ayah. Tapi Jihan tidak bisa menahan benih-benih cinta itu tumbuh. Delvan saudaranya, meskipun mereka bukan saudara kandung.

Jihan mengusap pipinya yang basah saat mendengar deru suara mobil memasuki perkarangan rumah. Dia berlari menuju jendela, lalu menatap ke bawah di mana kendaraan itu berhenti. Delvan keluar dari sana dengan seorang gadis yang Jihan ketahui adalah kekasih laki-laki itu.

Jihan kembali berlari menuju pintu kamar, kemudian menguncinya. Dia hanya tidak ingin diganggu baik oleh laki-laki tersebut atau pun bundanya.

Usai memastikan semua barang-barangnya tidak ada lagi yang tersisa, Jihan menghela napas lelah. Dia terduduk di tepi kasur, lalu isakan mulai terdengar kembali. Tidak mudah memutuskan untuk hidup sendiri.

"Gue bener-bener sebatang kara sekarang," gumamnya dalam isak tangis.

Ibu Jihan sudah lama meninggal. Kata sang ayah, ibu Jihan meninggal tepat di usianya 1 tahun. Jihan tidak begitu mengingat momen kebersamaan dengan wanita yang melahirkannya itu.

Saat itu Jihan mulai gampang sakit karena terus merengek untuk bertemu ibunya. Akhirnya pilihan sulit diambil oleh ayah Jihan. Pria itu menikahi kakak kandung ibu Jihan yang memang mirip dengan almarhumah istrinya.

Jihan mulai ada yang menjaga dan merawatnya. Gadis kecil itu juga tidak rewel lagi mencari ibunya. Dia hanya kesepian ditinggal sang ayah kerja sehingga butuh perhatian. Jihan mendapatkan itu semua setelah kehadiran bundanya.

"Bu, maafin Jihan ya. Jihan sayang sama ibu begitupun juga bunda. Walaupun kenangan kita gak banyak, tapi Jihan sangat bersyukur bisa dilahirkan ke dunia ini jadi anak ibu juga ayah."

Jihan memeluk dirinya sendiri. Gadis yang dikenal bar-bar di luar itu tidak sepenuhnya kuat. Dia hanya berpura-pura dan terus mencoba untuk tidak terlihat lemah ketika takdir baik tidak terlalu memihak padanya.

Layar ponsel Jihan menyala karena satu pesan baru muncul di sana. Jihan meraih benda pipih itu dan tersenyum melihat isi pesan tersebut.

Naura, sahabatnya kembali mengingatkan jika Jihan masih punya dirinya. Entah kebaikan apa yang pernah Jihan lakukan sampai ada satu gadis yang bertahan berteman baik dengannya setelah tahun-tahun berlalu.

***

"Bun, Jihan gak pergi jauh. Jihan cuma mau hidup mandiri aja. Selama ini Jihan selalu ngerepotin Bunda sama ini itu. Mau sampai kapan Jihan kayak gitu?"

SHORT STORY 2024Where stories live. Discover now