1 - Sebuah Pengakuan

1.3K 133 27
                                    

Assalamualaikum ....

Terima kasih sudah memilih cerita ini. Selamat membaca dan semoga betah sampai akhir.

🍁🍁🍁

Bandung, tahun 2016

Setelah salat Asar berjamaah merupakan waktu yang paling digemari para santri dan santriwati di pondok pesantren Nurul Taqwa yang terletak di salah satu sudut Kota Bandung. Sekitar satu jam ke depan mereka terbebas dari rutinitas belajar mengajar yang padat. Inilah waktu istirahat terpanjang yang mereka punya.

Pondok pesantren yang cukup tersohor itu berada di daerah perbukitan, mengakibatkan beberapa bangunan utama diapit oleh bukit ataupun lembah. Daratan landai serta deretan pohon cemara menjadikan lingkungan di sekitarnya sangat menawan.

Suasana sedang ramai di kawasan asrama putra. Sekelompok santri asyik bermain futsal di kaki bukit yang cukup lapang. Arena permainan itu dikelilingi para pendukung kedua tim yang sedang berlaga. Sorak-sorai untuk mendukung jagoan masing-masing meriuh, tak ubahnya turnamen sungguhan. Santri-santri lainnya terlihat berkeliaran di tempat lain dengan kesibukan masing-masing. Tak sedikit juga yang memilih berdiam diri di dalam bilik.

Sedang suasana di kawasan asrama putri jauh lebih tenang. Sebagian besar santriwati memenuhi koridor asrama dengan obrolan segar yang sesekali dibumbui lelucon dan melahirkan gelak tawa. Beberapa orang lainnya bersantai dengan bacaan ringan di beranda, di tepi telaga.

Jauh dari semua itu, tepatnya di atas bukit yang menjadi pemisah antara asrama putra dengan asrama putri, Fahran setengah berlari dalam kesendiriannya. Tapak kakinya timbul tenggelam dengan cepat di permukaan rumput yang melebat. Ia masih mengenakan koko, lengkap dengan sarung dan kopiah sehabis salat Asar tadi. Dengan menyeberangi bukit itu ia akan tiba di kawasan asrama putri. Sungguh, ini pelanggaran terbesar sepanjang sejarah sejak berdirinya pondok pesantren itu. Ia tercatat sebagai santri pertama yang berani melakukannya.

Fahran mengangkat tepi sarung yang agak menyulitkan langkahnya. Ia sama sekali tak risau dengan hukuman yang menanti jika sampai ketahuan. Tak begitu lama pemuda jangkung itu sudah memasuki kawasan asrama putri. Kini ia harus lebih berhati-hati, berjalan mengendap-endap menghindari pandangan para santriwati yang hilir mudik.

Tanpa kesulitan yang berarti ia berhasil merapat ke dinding asrama yang berderet memanjang. Dengan napas yang tersengal ia berjalan menyamping, menyusuri deretan jendela yang sebagian terbuka, sehingga untuk melewatinya dengan aman ia harus berjalan sambil jongkok. Pemuda berusia 18 tahun itu berhenti di jendela ke-17. Ia memandang sekeliling, memastikan situasi aman sebelum mengetuk daun jendela sewarna langit di depannya.

"Aida ...," desisnya pelan.

Hanya sekali ketukan, seorang gadis berkerudung biru muda membuka jendela, tampaknya memang sedang menunggu. Gadis itu langsung melepas senyum yang mampu mengalahkan kesejukan di perbukitan itu. Seketika rasa lelah Fahran terbayarkan. Detak jantung yang sedari tadi tidak beraturan semakin hebat saja. Bukan lagi karena lelah, tetapi karena keindahan yang terpatri di depannya. Fahran tidak mampu menyembunyikan keterpesonaannya, meski ini bukan pertama kali ia berhadapan dengan wajah itu.

"Di dalam ada siapa?" bisiknya kemudian.

Aida menggeleng. "Semua lagi keluar. Aman, kok!"

"Gimana? Kamu siap, kan?"

Tiba-tiba sebentuk keraguan tergambar di wajah cantik gadis itu. Sejenak ia tidak menjawab.

"Entahlah," ucapnya kemudian dengan nada penyesalan.

"Kenapa begitu? Bukankah semalam kita sudah membicarakan hal ini?"

"Aida takut, Kang. Abi pasti enggak akan menyetujui hubungan kita. Beliau enggak mungkin mengizinkan Aida berpacaran."

Calon Besanku Cinta Pertamaku [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now