4 - Gadis Kuncen dan Sang Violis

392 51 0
                                    

Jakarta, 20 tahun sebelum Tuhan menunjukkan akhir sebuah kisah yang dianggap usai.

Kisah yang sesungguhnya bermula pada suatu hari, ketika hujan tanpa antaran mendung serta-merta membasahi kawasan TPU Islam Nurani yang berlokasi di pinggiran Kota Jakarta. Kawanan bulir sejuknya melumat pucuk pepohonan, nisan-nisan, rumput kuyu yang telah merekam sejuta tangis pilu, juga lelaki yang menenteng biola di tangan kanan sambil berlari keluar dari TPU. Usahanya mencari tempat berteduh berakhir pada teras sebuah rumah yang berposisi tepat di samping tembok setinggi dada yang memagari sekeliling TPU.

Lelaki itu sibuk mengibaskan rambut serta ujung kemejanya, membebaskannya dari gelayutan bintik-bintik air hujan.

"Pakai ini!"

Kesibukannya terhentikan oleh sodoran handuk putih dari seorang gadis. Tuan rumah sepertinya.

"Maaf, aku mampir berteduh tanpa permisi." Ucapan penuh rasa tidak enak itu dibalas oleh tuan rumah dengan senyum tidak mempermasalahkan.

Handuk tadi sudah berpindah ke tangan si lelaki setelah lebih dulu meletakkan biolanya di atas meja kecil yang diapit dua kursi berlengan. Ia lantas membunuh rasa tidak enaknya dengan kesibukan menyeka rambut serta lengannya.

"Sepertinya hujan masih lama. Enggak ingin menunggu sambil duduk?"

Ajakan tuan rumah disambut cengiran lebar oleh si lelaki, sebelum mengisi kursi kosong di sebelahnya.

"Dirga." Lelaki itu mengulurkan tangan. Sungguh, ia tidak ingin jika malah gadis itu yang lebih dulu menyebutkan nama.

Tuan rumah mengenalkan diri sebagai Mia, sambil menjabat tangan Dirga. Mia sudah sering melihat lelaki itu, mengamati lebih tepatnya. Namun, pertama kali untuk sedekat ini, mendengar suaranya, dan ... ah, baru saja genggaman tangan mereka menyatu. Menyadari hal itu, Mia tak setenang yang terlihat. Parade kembang api tergelar meriah dalam hatinya, menimbulkan sensasi yang ia sendiri tak mampu membahasakannya.

Jika saja Dirga lebih jeli, maka ia bisa melihat sikap grogi yang menyertai setiap gerakan Mia, juga tatapannya. Ia hanya terlampau sibuk meredam rasa tidak enak telah mampir berteduh di rumah orang tanpa permisi.

"Tunggu sebentar, ya." Mia beranjak ke dalam tanpa menyisakan jeda untuk Dirga sekadar menjawab. Sepeninggal Mia, pandangan Dirga berkeliling, lalu bertumpu pada sisi kanan teras. Di sana ada beberapa batang sapu lidi, lengkap dengan pengki dan keranjang sampah yang tertata rapi.

Berselang beberapa menit Mia hadir kembali disertai secangkir teh yang memamerkan kehangatan lewat kepulan asap tipis di permukaannya.

"Biar enggak masuk angin," ucap Mia sambil meletakkan teh suguhannya di atas meja, tepat di samping biola Dirga.

"Wah, aku jadi makin enggak enak, nih." Dirga menggaruk bagian belakang kepala yang tak gatal.

"Santai aja." Mia tersenyum, alih-alih mempersilakan tamu dadakannya untuk minum.

Masih kikuk, Dirga meraih cangkir teh berbahan keramik bermotif bunga tulip itu. Diseruputnya sekali, kemudian diletakkan kembali ke tempat semula.

"Kamu kuncen?" Dirga meloloskan pertanyaan itu setelah sekilas pandangannya kembali mengarah ke sisi kanan teras. Namun ... ah, pertanyaan bodoh! Mana ada kuncen perempuan muda dan ... cantik?

"Bisa dibilang begitu." Jawaban Mia membuat Dirga urung mengutuk pertanyaannya barusan—meski belum yakin akan kesungguhan kalimat yang baru didengarnya. "Tapi sebenarnya sekadar bantu Ayah saja, kok."

Bibir Dirga membulat disertai anggukan pelan. "Terus, kesibukan lain?"

"Kesibukanku, yah, cuma di TPU ini, bantu Ayah. Aku hanya tamatan SMA. Itu juga udah syukur banget."

Calon Besanku Cinta Pertamaku [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now