5 - Hati yang Tercuri

311 48 4
                                    

Kabut masih membatik di setiap sisi sebuah indekos yang lengang, jauh dari aktivitas penghuninya. Tiba-tiba suara ketukan pintu kamar nomor tiga memecah keheningan. Lelaki itu mengetuk berkali-kali sambil meneriakkan nama penghuninya.

"Dir ... Dirga ...!"

Tak ada jawaban.

Tampaknya yang bersangkutan masih dibuai mimpi di dalam sana. Lelaki bersarung kotak-kotak itu pun mengulangi lagi dengan nada yang lebih tinggi.

Tak lama kemudian pintu kamar bercat abu-abu itu terkuak. Dari baliknya Dirga muncul sembari menguap dan mengucek matanya.

"Aduh, Wan, ada apa, sih? Memangnya enggak bisa nanti? Ini, kan, masih pagi buta."

"Enggak bisa. Ini penting banget!" Wawan mempertegas dengan gerakan tangan.

"Paling cuma mau bilang kalau kamu punya pacar baru lagi," malas Dirga. Ia bersandar di sisi kanan pintu.

"Wah, Man, jangan main tebak gitu, dong! Kali ini topiknya benar-benar eksklusif, sama sekali enggak ada hubungannya dengan cewek-cewek yang naksir sama aku."

"Naksir dari mana? Kamunya aja, tuh, yang ngaku-ngaku."

"Ok! Cukup! Sekarang tolong dengarkan baik-baik!" Wawan seolah ingin membekap mulut Dirga. "Kamu masih ingat lowongan guru ekskul di sekolah omku?" tanyanya setelah Dirga diam sempurna.

"Oh, jadi kamu mau bilang kalau lowongannya sudah terisi?" Raut kekecewaan tergambar di wajah Dirga.

"Ayolah, Man. Stop thinking negative! Ya udah, lebih baik kamu baca sendiri." Wawan menyodorkan sebuah amplop.

Tanpa menoleh, Dirga meraihnya. Ia malas-malasan mengeluarkan isinya dan langsung membacanya. Seketika keningnya mengerut dan menarik kertas itu lebih dekat ke wajahnya. Matanya memelotot, senyumnya mengembang kemudian.

"Ini beneran?" Dirga terus memelototi kertas itu.

"Menurutmu?"

"Wan, ini beneran, kan?" Dirga memegang kedua pundak Wawan, sedikit mengguncangnya seraya berucap tadi.

"Kamu gimana, sih? Ini memang sungguhan, balasan surat lamaran yang kamu kirim kemarin."

"Aku diterima?" Dirga berbinar-binar.

Wawan mengangguk. "Pihak sekolah memutuskan kamu yang jadi guru ekskul musik di sekolah itu."

Rasa bahagia tak terkira sesaat menenggelamkan kosakata di benak Dirga. Entah apa yang harus diucapkannya. "Ini luar biasa. Aku masih belum bisa percaya." Dirga mengguncangkan tubuh Wawan sekali lagi, kegirangan.

"Kamu pantas mendapatkannya. Kamu, kan, violis andal." Wawan memberikan senyum pujian plus acungan jempol.

"Thanks, ya, Man!" Dirga mendekap tubuh Wawan.

"Woe, jangan lama-lama meluknya! Kalau ada yang lihat nanti dikira sedang berbuat maksiat." Wawan menepuk punggung Dirga.

Keduanya tertawa kecil.

"Sebenarnya surat ini datangnya dari kemarin sore, tapi aku lupa menyampaikannya. Aku sengaja membangunkanmu pagi-pagi biar bisa siap-siap."

"Siap-siap?" Dirga mengernyit.

"Hari ini juga kamu langsung mulai kerja."

Lingkar mata Dirga membesar.

"Ini hari Sabtu, waktunya ekskul, kan?"

"Terus ... kuliahku?"

"Soal kuliah bisa diatur. Lagipula kamu enggak mau, kan, melewatkan kesempatan ini?"

Calon Besanku Cinta Pertamaku [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang