10 - Surat Titipan

225 27 3
                                    

Bandung, tahun 2016

Waktu untuk menunaikan salat Isya baru saja berpaling dari pondok pesantren Nurul Taqwa dan sekitarnya. Raul kembali menyibukkan diri di antara buku-buku pelajaran. Ia mematangkan persiapan untuk menghadapi ujian besok. Tiba-tiba konsentrasinya buyar oleh kemunculan Fahran yang melompat masuk melewati jendela.

"Astagfirullah! Antum bikin kaget saja." Raul mengelus-elus dadanya setelah terperanjat.

"Maaf. Lagian, kamu serius banget, sih."

"Antum habis menyeberang bukit lagi, ya?"

Fahran tidak menjawab. Ia beranjak duduk di tepi tempat tidur. Ekspresi yang sudah sering ia tunjukkan itu semacam pembenaran atas pertanyaan pemuda berkoko biru malam yang telah jadi sahabatnya sejak hari pertama tiba di pondok pesantren itu.

"Kok, tumben cuma sebentar?"

"Aida enggak ada di asrama." Fahran tertunduk lesu. "Laila bilang malam ini ia nginap di kediaman orangtuanya. Ini pasti kehendak Ustaz Ansara."

"Ustaz Ansara telah mengambil tindakan yang tepat."

"Maksudnya?" Fahran mengernyit.

"Ayah mana pun enggak akan rela kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk pada putrinya."

"Jadi sahabat ngerti dikit, dong! Kok, malah belain Ustaz?" Fahran mendengus. "Dan asal tahu aja, ya, aku sama Aida enggak pernah macam-macam."

"Aku percaya. Tapi, bukan berarti bisa dibenarkan."

"Duh, ribet, ya, ngomong sama kamu." Fahran menjatuhkan kepala tepat di tumpukan bantal. Secuil senyum tersungging di bibir Raul.

Sejenak hening.

"Malam ini Mama nginap di kediaman keluarga Kiai Maulana. Kira-kira ngomong apa, ya, sama Ustaz Ansara?"

"Menurut antum?"

"Pasti sedang memperjuangkan nasib cintaku sama Aida."

"Antum yakin cara ini akan berhasil?"

"Menurut kamu?"

Raul hanya mengedikkan bahu dengan ekspresi yang tidak jelas, membuat Fahran melempar sungutan kecil.

Selama beberapa saat tak ada suara di antara mereka. Raul berniat melanjutkan aktivitasnya, tetapi keduluan Fahran yang tiba-tiba menghadirkan topik baru.

"Oh ya, ada surat titipan lagi, nih, dari Laila." Fahran bangkit dan mengeluarkan sebuah lipatan kertas dari balik saku kokonya.

Raul tak lantas menerima surat tak beramplop itu, hanya menatapnya dengan sebentuk keraguan.

"Ayo ambil! Atau mau aku yang bacain?" goda Fahran dengan ekspresi jail.

Refleks, Raul langsung menyambar surat itu, membuat Fahran terkekeh. Pemuda itu lalu membuka lipatannya dengan hati-hati dan mulai membacanya.

Untuk Kang Raul

di tempat

Assalamualaikum Wr.Wb.

Sebelumnya saya minta maaf jika kedatangan surat ini mengusik ketenangan antum. Singkat saja, saya hanya ingin menanyakan keadaan antum, apakah baik-baik saja? Atau akhir-akhir ini sangat sibuk hingga tidak sempat membalas surat-surat yang saya kirimkan?

Saya bukannya menuntut, dan sebenarnya sangat tidak berhak mengatakan hal ini. Tapi, bisakah sekali saja antum menemui saya seperti Kang Fahran menemui Aida?

Calon Besanku Cinta Pertamaku [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now