7 - Telaga Teratai

214 30 4
                                    

Mia menepi seorang diri di sebuah telaga yang terletak tidak begitu jauh dari halaman belakang rumahnya. Tatapannya hampa, terselip di antara bunga-bunga teratai yang menutupi hampir seluruh permukaan telaga. Hening, sepi. Bagaimana mungkin ini rindu? Pemilik wajah oval itu berusaha menepisnya, tetapi harus ia namakan apa rasa itu? Rasa yang tiba-tiba menyergap, melumpuhkan.

Kenapa sore enggan menghadirkannya lagi?

Apakah dawai-dawai biolanya lelah memberiku kedamaian?

"Mia ...." Tiba-tiba seseorang memecah keheningan, ketika lamunan Mia kian akut. Dan suara itu ...?

Sontak Mia menoleh ke belakang.

"Dirga ...?" Seketika senyum berseri di wajah Mia saat kedua matanya menangkap sosok rupawan yang berdiri sekitar sedepa di belakangnya. Dirga lalu mendekat dan mengambil posisi bersisian.

"Kok, tahu, aku di sini?" Mia tak mampu menyembunyikan rona wajahnya yang meletup-letup.

"Tahu dari ayah kamu."

Sekadar menyadari lelaki ini barusan bertamu ke rumahnya, detak jantung Mia mendadak meningkat.

"Kupikir aku enggak akan melihatmu lagi."

"Kok, gitu?" Dirga mengernyit.

"Dua hari kamu membiarkanku menunggu."

"Menunggu?"

Seketika Mia menunduk, kemudian melempar pandangan salah tingkah. Ia tak menyadari kalimat yang baru saja diucapkannya. Keluar begitu saja.

"Kemarin aku sibuk, ada pekerjaan baru."

"Wah, bagus, dong," girang Mia, alih-alih berusaha mengendalikan suasana hatinya sendiri.

"Alhamdulillah. Tuhan Maha Pemurah."

"Boleh tahu kamu dapat kerjaan baru apa?" Detik selanjutnya Mia tersadar, bahwa pertanyaan barusan mungkin saja belum pas dilontarkan oleh orang yang baru kenal. Dia tidak ingin dianggap terlalu cepat ingin tahu. Namun, syukurlah, sepertinya Dirga tidak mempermasalahkan.

"Alhamdulillah, aku diterima ngajar biola di sebuah sekolah, sama ada les privat juga."

"Alhamdulillah." Mia sungguh ikut bahagia. Kegalauan akibat dua hari tidak bisa melihat lelaki di sampingnya ini sudah menguap entah ke mana. "Mereka yang jadi muridmu beruntung banget, ya, bisa diajarin violis sekeren kamu."

"Apa, sih?" Dirga terkekeh. "Biasa aja, kok."

"Selamat, ya. Permainan biolamu akan semakin bermanfaat untuk orang banyak, dan tentu saja mendatangkan penghasilan tambahan."

Dirga mengangguk samar sembari tersenyum. "Aku benar-benar bersyukur Ayah mewariskan bakat ini. Setelah beliau tiada, manfaatnya bisa langsung kurasakan. Aku membiayai hidup dengan manggung dari kafe ke kafe, dan perlahan-lahan bisa melalui masa-masa sulit itu."

Saking fokus menyimak, Mia terdiam. Tatapannya tertancap di wajah Dirga. Meski lelaki itu sesekali melempar pandang ke tak tentu arah.

"Tapi makin ke sini kebutuhan hidup makin kompleks, enggak bisa cuma mengandalkan itu." Kali ini Dirga membalas tatapan Mia. "Aku terpaksa menulis untuk mendapatkan penghasilan tambahan."

"Menulis?" Tatapan Mia masih lekat. Tentu saja ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan mengenal lelaki ini lebih jauh.

"Iya." Dirga mengangguk samar. "Atas arahan seorang teman, tulisanku disambut baik oleh redaksi sebuah majalah remaja. Aku nulis apa saja yang mereka minta, selama masih bisa kusanggupi." Saat menoleh lagi ke arah Mia, Dirga baru sadar, gadis di sampingnya ini menatapnya terlalu lekat. Dia jadi salah tingkah. "Jangan natap seolah aku ini dewa, ah!" kekehnya.

Calon Besanku Cinta Pertamaku [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now