3 - Getar Tak Wajar

576 71 75
                                    

Di dalam sebuah mobil mewah yang meluncur di jalanan mendaki dan berkelok, Mia terlihat cemas. Berkali-kali ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, ingin segera tiba di tempat tujuan.

Selawat bergaung memenuhi kawasan perbukitan, panggilan untuk menunaikan ibadah salat Magrib pun terdengar. Sedari tadi Fahran menyendiri di halaman kantor, ia duduk di undakan. Sesekali tangannya memainkan ilalang yang tumbuh liar di sisi undakan, atau melemparkan batu kerikil sejauh mungkin sebagai penyaluran kekesalannya.

Tiba-tiba ia bangkit dengan senyum sempurna ketika sebuah mobil mewah yang sangat dikenalinya melintasi gerbang utama pondok pesantren tempatnya menimba ilmu hampir tiga tahun terakhir. Seolah tak sabaran, Fahran langsung menuruni undakan dan berlari menghampiri mobil tersebut.

Mia pun demikian, sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengan putranya itu. Ia bergegas turun dari mobil dan menyambut Fahran dalam dekap hangatnya. "Mama kangen banget sama kamu!"

"Fahran juga, Ma!"

Selama beberapa saat dekapan mereka belum terlerai. Dari balik punggung mamanya, Fahran mengintai ke dalam mobil.

"Kok, Mama disopirin sama Mang Dadang? Kenapa Papa enggak ikut?"

"Tadi Papa sudah di mobil sama Mama, tapi tiba-tiba rekan bisnisnya telepon, mendadak mereka harus menghadiri meeting penting di luar negeri. Makanya Mama baru tiba karena nganterin Papa dulu ke bandara."

"Ah, Papa selalu gitu." Fahran menekuk mukanya. "Memangnya enggak bisa diwakili sama bawahannya?"

"Mama juga tadi tanya begitu, tapi katanya kali ini benar-benar enggak bisa. Harus Papa yang ke sana." Mia mengelus lembut tengkuk putranya. "Kamu jangan sewot begitu, dong, Sayang. Papa kerja keras, kan, buat kita juga."

Tampaknya Fahran belum bisa menerima ketidakhadiran Papa.

"Fahrul?"

"Adikmu ikut pelatihan PMR. Ia sedang camping di luar kota. Lusa baru pulang."

"Padahal aku sudah kangen banget sama tuh bocah." Sepintas terbayang di benak Fahran wajah sang adik yang super jail.

"Adikmu juga pasti begitu, tapi mau gimana lagi? Lagipula, musim liburan nanti kamu bisa pulang menemuinya, kan?"

"Iya sih ...," pelan Fahran, wajahnya memetakan sesuatu yang masih mengganjal.

"Kenapa lagi?" Mia menangkap raut yang tidak beres di wajah putranya itu.

"Gimana, dong, Ma?"

"Gimana apanya?"

"Mama bisa, kan, bicara sama Ustaz Ansara tanpa Papa?" khawatir Fahran.

"Oh ...." Mia tampak berpikir sejenak. "Mama juga enggak yakin, sih, tapi Mama akan usahain buat kamu. Lagian kamu ini ada-ada aja, deh. Anak gurunya, kok, dipacarin?"

"Boleh, dong. Salah sendiri punya anak secantik Aida."

"Hus, enggak boleh ngomong gitu!"

Fahran terkekeh saat Mama mencolek pinggangnya.

"Emangnya Aida itu kayak apa, sih? Mama jadi penasaran."

"Nanti biar Mama lihat sendiri. Pokoknya, cantiiik ... banget!" Ucapan Fahran didramatisir, dipanjang-panjangin.

"Percaya, deh. Kalau enggak, mana mungkin anak Mama yang ganteng ini dibuatnya bertekuk lutut?" Mia membelai lembut pipi sulungnya.

"Ah, Mama bisa aja." Senyum Fahran melebar.

Mereka jalan beriringan memasuki lebih dalam pekarangan pondok pesantren Nurul Taqwa. Fahran merangkul Mama. Mereka masuk ke kantor setelah menapaki undakan tempat Fahran menyendiri tadi. Mereka harus mematuhi peraturan-tamu wajib lapor.

Calon Besanku Cinta Pertamaku [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now