Aurora - 21

67.1K 9.4K 1.6K
                                    

Matahari merambatkan cahaya lurus melewati kaca jendela. Seolah mengajak jiwa gue yang berceceran di alam mimpi untuk segera kembali ke dunia nyata. Kelopak mata gue mulai terbuka. Pupil mata gue mengecil karena desakan cahaya yang menyapa pagi. Samar-samar gue mulai menangkap pemandangan yang terasa berbeda dari kamar gue yang biasanya. Gue pun berusaha mengingat-ingat, kamar siapa ini?

Ketika sadar ini kamar siapa, mata gue terbelalak. Gue bangkit tiba-tiba yang membuat kepala ini pusing.

Ah! Shit!

Gue benci terbangun dengan pandangan yang terasa berputar-putar. Kepala gue masih sedikit pusing dan yang paling menyebalkan adalah mulut gue bau alkohol.

Bagus! Gue baru ingat kalau semalam gue salah minum. Pagi ini gue ketinggalan untuk melakukan ibadah subuh. Belum lagi, gue malu kalau harus beribadah dengan mulut bau alkohol. Astaga.... Gue saja nggak yakin apakah ibadah gue akan diterima karena alkohol sialan itu! Yah, meskipun gue nggak sengaja.

Gue melangkah tertatih-tatih ke kamar mandi yang ada dalam kamar Bryan. Oh ya! Gue bersyukur banget karena pakaian gue masih utuh dan nggak ada tanda-tanda fisik kalau gue habis diapa-apain sama dia. Hal itu membuat gue terharu. Ternyata Bryan benar-benar masih bisa dipercaya dan menjaga komitmen dengan baik. Mau gue peluk aja rasanya.

Tangan gue memegang handle pintu kamar mandi. Kandung kemih gue rasanya sangat penuh. Akhirnya, cairan berisi toksin dari kandung kemih gue pun meluncur ke tempat yang seharusnya. Setelah itu, gue berjalan ke wastafel untuk mencuci muka. Gue menggelung rambut sembari memandang cermin. Tapi mata gue menangkap ada bercak merah di leher.

"Ini apaan? Digigit nyamuk kali ya," gumam gue mengelus bercak merah itu.

Kemudian gue teringat sesuatu. Sepemahaman gue, di mana-mana yang namanya digigit nyamuk itu pasti meninggalkan benjolan dan rasa gatal. Oh ya, lagi pula selama ini nggak pernah ada nyamuk terdeteksi di kamar Bryan. Gue kan rajin memastikan kalau nggak akan ada nyamuk yang merusak keindahan kulit dia. Lalu ini bercak merah kenapa??? Jangan-jangan.... Mata gue melotot. Gue pun keluar dari kamar mandi dan melesat menuju kamar lain dengan cepat.

Asli! Gue emosi! Ini pasti cinderamata dari bibir Bryan! Sekarang gue benar-benar marah! Bisa-bisanya dia melanggar kesepakatan yang kami buat! Demi keperawanan tujuh lapis milik Mimi Peri! Gue gampar lo, Bryan!!

BRAKKK!!!

Gue membuka pintu kamar dengan kasar. Di kamar, Bryan sedang tidur memeluk Sean dengan kaki melintang di paha si bungsu itu. Sean yang mendengar suara pintu sontak terjaga, sementara Bryan masih tidur dengan damai. Tapi gue kan memastikan kalau hidup dia beberapa detik ke depan nggak bakal damai lagi! Siapa suruh telah berani merenggut kesucian leher gue?!

"Au, ada apa?" tanya Sean mengucek matanya.

Gue nggak peduli dengan pertanyaan Sean. Mata gue tertuju ke Bryan. Gue segera menghampiri dia.

"BRYAN! LO APAIN LEHER GUE ANJIR?!!"

Suara gue yang menggelegar membuat Bryan bangun dengan gelagapan.

"Aurora? Ada apa?! Kau baik-baik saja?!" tanya dia kaget.

"Kau bicara apa? Kenapa bilang anjir? Sedang memuji Bryan?" Sean ikut campur.

Gue memegang tangan Bryan dan segera menarik dia keluar dari kamar. Gue meninggalkan Sean yang bengong melihat tingkah absurd gue. Bryan sendiri berusaha mengikuti langkah gue untuk memasuki kamar dia. Sebelum memulai interogasi, gue menarik napas panjang berkali-kali. Tingkah gue membuat Bryan semakin bingung.

"Kau apakan leherku?" tanya gue menurunkan volume suara. Gue nggak mau Sean mendengar percakapan ini.

Bryan terdiam. Dia malah menyingkap rambut dari keningnya.

"Kita sudah membahas perjanjian itu, kan? Kenapa kau memanfaatkan kesempatan?" Gue masih mendesak jawaban dari Bryan. Sialnya, dia masih membisu yang membuat emosi gue semakin naik.

"Kenapa tidak dijawab, Bryan?!" Intonasi gue mulai terdengar jahat.

"Aku harus jawab apa?!" kata Bryan tiba-tiba keras. "Kau mabuk dan menggodaku. Kau yang memulai. Kau tahu? Setengah mati aku menahan diriku."

Gue terkesiap.

Masa iya gue separah itu? Nggak mungkin! Ini pasti alibinya dia aja!

Bryan menghela napas. "Setengah mati aku menjaga kehormatanmu, kau malah meracau tentang ciuman bersama Sean. Kau tahu bagaimana perasaanku?"

Gue semakin terpaku. Kali ini gue benar-benar tertohok tepat di ulu hati. Kalau sampai Bryan tahu sejauh itu, berarti gue memang telah melakukan hal memalukan seperti yang baru saja dia bahas.

"Kau sudah tahu?" tanya gue pelan dengan wajah merah.

"Sudah."

Gue malu. Malu banget karena gue telah melakukan hal sebodoh itu semalam. Lebih nggak tau dirinya lagi, gue malah menuduh Bryan yang bukan-bukan. Padahal dia sudah berusaha menjaga gue.

"Kita harus bicara," ucap Bryan menatap gue lekat.

"Bicara apa?" Gue mulai waswas.

"Solusi yang telah ditawarkan Sean padamu."

Untuk ke sekian kalinya, hati gue tertohok. Gue nggak berharap solusi itu jadi jalan yang bakal gue ambil. Melihat Bryan yang menyetujui solusi dari Sean membuat gue sedih. Semudah itukah dia meminta gue untuk melakukan itu?

—Bersambung

Fangirl TaleWhere stories live. Discover now