Aurora - 19

43.9K 8K 765
                                    

Gue terpaku. Gue nggak percaya dengan apa yang barusan gue lihat.

"Ada apa?" tanya Sean heran.

"Ada yang memotret kita," bisik gue menunjuk ke luar.

Sean tersentak dan segera mengikuti arah tangan gue. Tapi terlambat. Si penguntit itu seolah raib ditelan Bumi. Dia telah bersembunyi. Gue menduga itu adalah stalker profesional yang memang sudah sangat ahli berkamuflase.

"Bagaimana ini, Sean?" Gue gemetaran.

Demi apa pun! Gue sama sekali nggak mau berurusan sama media. Gue belum siap kebebasan gue terenggut karena blow up media. Gue masih pengen hidup normal selayaknya orang biasa. Rasanya gue mau menangis mengingat kejadian barusan.

Sean batal mengambil bubble tea dan kembali ke joknya. Wajah dia menegang. Tapi wajah gue lebih tegang lagi. Tubuh gue berkeringat dingin. Gue segera meneguk air mineral untuk membantu meredakan ketakutan. Sean menyambar air mineral dari tangan gue. Dia minum dengan kalap sampai airnya nggak tersisa.

"Aku belum siap kena bully...," lanjut gue lirih.

"Tidak! Tidak akan aku biarkan terjadi!" sergah Sean tegas. Dia menatap gue dengan sorot mata elangnya. "Aku akan melindungimu."

Gue nggak sanggup berkata-kata. Perkataan Sean membuat gue terharu luar biasa. Air mata gue menggenang. Sean meraih tangan gue. Jari kuat dia menggenggam tangan gue sangat erat.

"Jika ada yang jahat padamu, katakan. Aku akan melindungimu semampuku," ucap Sean meyakinkan gue.

Gue nggak sanggup berkata-kata. Tenggorokan gue tercekat.

"Hei, jangan menangis," pinta Sean saat melihat air mata gue meluncur.

"Sean, seharusnya kau memikirkan dirimu sendiri dulu. Ini menyangkut karirmu," kata gue nyaris berbisik.

"Aku sudah terbiasa dengan rumor. Aku bisa menanganinya...." Sean menyeka air mata gue. "Kita pulang sekarang."

Sean segera menyalakan mobil dan melaju pergi dengan kecepatan yang tinggi. "Apartemenmu di mana?"

"Mau apa ke sana?" Gue balik bertanya dengan air mata yang masih mengalir.

"Aku akan mengantarmu."

"Antarkan aku ke apartemen Bryan," pinta gue lirih.

Sean terdiam. Sementara gue masih sibuk dengan kesedihan, shock, dan ketakutan gue. Hati gue belum siap menerima kenyataan....

"Tenanglah. Semuanya akan baik-baik saja," ucap Sean berusaha menenangkan gue meskipun dia sendiri berwajah tegang. Gue menyeka air mata.

"Kenapa tidak kembali ke apartemenmu sendiri? Di sana lebih aman. Kalau kau ada di apartemen Bryan, mereka akan semakin curiga."

"Aku harus bertemu Bryan." Gue bersikeras.

"Harus? Sepenting itu?"

Gue enggan menjawab. Sean pun nggak berkata apa-apa lagi sampai mobil memasuki area parkir apartemen yang cukup privat. Setelah memarkir, Sean nggak langsung turun. Dia memandang gue dengan serius.

"Aurora, sepertinya kau harus jadi kekasihku."

"APA?!"

Gue shock untuk ke sekian kalinya. Rasanya jantung gue nggak cukup kuat mendengar kalimat barusan.

"Kau harus jadi kekasihku," ulang Sean yang bikin gue mendadak pusing.

"Tapi—"

"Ini cara untuk membersihkan namamu!" ucap Sean tegas.

Gue menggigit bibir. Bayangan wajah Bryan yang kecewa pun memenuhi kepala gue. Gue harus bagimana??? Gue takut Bryan marah. Gue takut kehilangan dia.

Sean menyentuh tangan gue. "Au, mereka tidak akan percaya apa pun alibi kita. Jika aku tidak mengatakan kau kekasihku, maka orang akan berpikir kau itu gadis yang.... Ya, kau paham maksudku kan?"

Gue paham. Tapi Bryan....

"Kita lihat nanti bagaimana perkembangan beritanya. Untuk sementara hanya itu yang terpikir olehku."

Gue mengangguk lemah dan melepas seatbelt. "Aku paham. Aku turun dulu."

Sean akan ikut keluar dari mobil, tapi gue menahan dia.

"Tidak usah diantar. Aku sendiri saja. Terima kasih," ucap gue memaksakan diri untuk tersenyum.

Sean menghela napas.

"Maaf...," kata dia pelan.

Gue nggak menjawab dan pergi dari hadapan Sean.

🍃🍃🍃


Gue memasuki apartemen Bryan dengan tubuh lemas. Gue nggak tahu harus bersikap bagaimana di hadapan Bryan. Gue nggak terlalu mengkhawatirkan rumor kencan di Everland. Yang bikin gue ketakutan adalah kalau foto tadi beredar. Masalahnya, angle foto tadi mengesankan kalau gue dan Sean sedang ciuman.

Nggak seharusnya gue takut mengingat kami memang enggak melakukan hal itu. Tapi yang gue cemaskan adalah logika Bryan dibutakan oleh kecemburuan dan kemarahan. Gue takut dia tiba-tiba melepas gue karena terhasut oleh foto palsu. Gue takut. Takut banget.

Gue menatap meja makan yang telah dipenuhi makanan pesanan Bryan dari restoran favoritnya. Di sana juga ada dua lilin ungu beraroma lavender dan sebotol minuman beralkohol. Hati gue mencelos. Bryan telah susah payah menyiapkan hal seromantis ini. Dan balasan gue adalah rumor kencan dengan Sean???

Demi apa pun, gue ingin memeluk Bryan erat-erat untuk meluapkan perasaan bersalah ini. Tapi di mana Bryan?!

Gue membuka kamar Bryan dengan pelan. Gue hanya bisa terpaku saat melihat sosok Bryan yang berdiri di hadapan gue. Dia tersenyum manis dengan sebuket mawar merah yang dipegang di dadanya.

"Selamat datang, Aurora."

Tanpa pikir panjang, gue menghambur ke pelukannya yang dia sambut dengan tawa hangat dan lengan terbuka untuk merengkuh tubuh gue.

"Wah.... Kau sangat merindukanku, ya?" goda dia terkekeh-kekeh.

"Sangat...." Gue menjawab lirih dengan menahan tangis.

"Aku pikir kau akan keasyikan dengan Sean," sahut dia masih terkekeh.

Gue semakin kesulitan menahan tangis. Andai aja lo tau....

bersambung

Fangirl TaleWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu